Bermula dari Sekadar Live-In, Berlanjut Jadi Keluarga

Dari sebuah desa di perbukitan Menoreh, perjalanan yang panjang dimulai. Dari sinilah, hasrat untuk pergi merantau dari rumah mencuat dan menjadi nyata satu tahun setelahnya.

Enam tahun lalu, sebagai seorang bocah SMA kelas XI yang tumbuh besar di kota, melihat desa yang hijau dipenuhi sawah adalah sukacita tak terkatakan. Bukan suatu kebetulan karena waktu itu pihak sekolah memilih sebuah desa yang masih amat asri untuk dijadikan lokasi live-in. Setiap siswa dibagi-bagi ke dalam kelompok kecil berjumlah dua orang. Dua orang inilah yang ‘diutus’ untuk tinggal, membaur, dan menyatu dalam keluarga angkat selama tiga hari dan dua malam.

Hari pertama, 1 Maret 2011, kami tiba di depan gereja Katolik St. Theresia Lisieux yang menjadi titik kumpul. Gereja ini unik, menaranya tinggi menjulang, loncengnya berbunyi nyaring, dan pemandangan di sekitarnya amat hijau. Secara demografi, desa Boro yang menjadi destinasi live-in ini memang banyak dihuni oleh penganut Katolik. Ada kapel-kapel kecil yang tersebar di sudut-sudut desa, juga sekolah dasar yang dikelola oleh yayasan Katolik berdiri di samping gereja.

Tatkala kami semua berkumpul menunggu instruksi, puluhan warga desa yang didominasi ibu-ibu turut hadir di pelataran gereja. Merekalah yang nantinya akan menjadi orangtua angkat kami selama tiga hari itu. Kami bertanya-tanya dalam hati. Seperti apakah rumah yang akan kami tempati nanti? Makanan seperti apa yang akan kami makan? Akan melakukan apa saja nanti di sana? Pertanyaan itu masih menjadi misteri hingga beberapa menit ke depan. Ketika aku merasa amat antusias untuk segera memulai aktivitas live-in, ada juga beberapa teman yang keburu takut. Belum mulai saja mereka sudah merasa tidak betah dan ingin segera pulang.

“Aryanto, Riky!” Nama kami dipanggil, dan seorang ibu bernama Helen menyambut kami dengan senyuman. Sempat canggung, aku menyalami tangan sang ibu, membalas senyumannya, dan mengenalkan diri. Kemudian, kami berjalan kaki meninggalkan pelataran gereja menuju rumah.

Rupa-rupanya, Tuhan mendengar doaku. Waktu itu, aku berdoa supaya boleh mendapatkan kesempatan tinggal di keluarga yang sederhana supaya aku bisa mendapat pengalaman maksimal. Rumah ibu Helen berlantai tanah. Bangunannya hampir permanen, dindingnya terbuat dari bata merah tanpa ditutup semen. Tepat di depan rumah, terhampar persawahan dan bukit-bukit nan hijau. Tak ada kompor gas, televisi, kulkas, ataupun radio. Suasana rumah begitu hening, hanya sesekali hening itu pecah tatkala anjing-anjing mulai menyalak.

P1050603
Dapur keluarga Ibu Helen

Ternyata, dari kesederhanaan itu, ibu Helen memperlakukan kami amat istimewa. Kami tidak dianggap hanya sekadar tamu, tapi seolah-olah kami adalah salah satu dari anaknya. Aneka hidangan tersaji di atas meja makan. Menu-menunya sederhana. Ada ikan goreng, daun singkong, tempe, tahu, dan segelas teh manis panas. Tatkala kami makan, ibu duduk di samping kami, mengajak kami ngobrol ngalor-ngidul tentang banyak hal.

Ibu Helen telah menikah dengan Florensius Sumaryo, atau aku menyebutnya sebagai Pak Maryo. Mereka dikaruniai empat orang anak. Sang bapak bekerja di sebuah sekolah swasta di kota Yogya dan memacu sepeda motornya setiap hari pulang pergi sejauh 50 kilometer, dari kota Yogya menuju Kalibawang. Jarak yang jauh itu dilakoninya setiap hari. Sementara bapak bekerja di kota, ibu membaktikan dirinya sebagai seorang petani. Tiap pagi setelah bapak berangkat, ibu akan beranjak ke sawah hingga tengah hari. Apabila musim panen tiba, waktu kerja di sawah akan dihabiskan lebih lama.

Setiap paginya, kami mengikuti aktivitas ibu turun ke sawah. Bukannya membantu, tapi kami malah merusak padi-padi yang telah tertanam. Sebagaimanapun kami mencoba, tangan kami tidak berbakat untuk menanam padi secara lurus. Tanpa perhitungan matematika, tanpa alat bantu, padi-padi yang ditanam ibu berbaris rapi. Tak miring ke kanan atau ke kiri sama sekali.

P1050573
Babi merah muda di desa Boro

Di siang hari, kami pergi ke bukit-bukit untuk mencari kayu bakar. Dalam perjalanan pulang, kami mampir sejenak di kandang babi dan menatap satu per satu babi-babi gembur yang kelak hidupnya akan berakhir di meja makan. Tiga hari yang singkat itu kami gunakan semaksimal mungkin. Dan, ketika tiba harinya kami berpisah, rasa haru menyelimuti kami. Aku berjanji dalam hati, suatu saat aku akan kembali ke tempat ini.

***

Satu tahun berselang, ternyata aku memang kembali. Tatkala teman-teman memilih untuk tetap melanjutkan kuliah di Bandung, aku memilih Jogja sebagai kota tujuanku untuk melanjutkan hidup. Empat tahun dan enam bulan kuhabiskan di kota ini, larut dalam ritmenya yang santai dan sederhana. Selama waktu itu pulalah, rumah ibu Helen dan bapak Maryo selalu terbuka menyambutku. Di sela-sela kuliah, saat akhir pekan, atau kala liburan, aku selalu singgah di rumah mereka. Kadang, aku tak sekadar singgah, tapi juga menginap selama satu malam hanya untuk melepas penat dan mendengar suara jangkrik malam-malam.

Aku selalu datang dengan tangan hampa, tapi pulang dengan beragam oleh-oleh. Ada pisang, dukuh, rambutan, geblek, dan aneka panganan lainnya yang wajib dibawa. Aku tak kuasa menolak karena ibu selalu berkata, “Kamu itu anak kost! Jadi, ini semua harus dibawa.” Ibu benar, karena aku anak kost, sudah barang tentu harus berhemat. Makanan-makanan yang kubawa dari desa itu selalu jadi penyelamat ketika rasa lapar dan tanggal tua menghadang.

Sejak pertemuan pertama hingga saat ini, sudah enam tahun berlalu. Aku lupa sudah kali keberapa aku singgah ke rumah ibu. Ketika studiku di Jogja telah rampung dan pindah ke Jakarta, suasana rumah ibu Helen selalu menjadi hal yang kurindukan. Tatkala di kantor, di kost, ataupun berkendara, selalu ada suara hati yang berkata, “Ayo, pulang.”

Keinginan untuk ‘pulang’ itu terwujud. Tanpa memberitahukan ibu terlebih dahulu, di kala akhir pekan aku pergi ke Jogja dari Jakarta. Sepulang kantor, tanpa mandi, tanpa pulang kost terlebih dahulu, aku menaiki kereta api Progo menuju Jogja. Setibanya di Jogja, aku singgah sejenak di rumah kost yang dulu pernah kutinggali, kemudian menyewa sepeda motor dan memulai perjalananku ke Kulonprogo.

Seperti biasa, aku tidak membawa apapun untuk diberikan ke rumah ibu Helen. Bukan karena aku pelit, tapi, kalau membawa sesuatu, ibu pasti mengomel dan memaksaku untuk tidak usah merepotkan diri. Aku tidak tahu apa reaksi ibu nanti. Ketika aku diwisuda, aku lupa memberitahunya, bahkan tak sempat juga untuk mampir ke rumahnya karena waktu yang amat terbatas. Satu minggu setelah wisuda, aku harus pindah dan bekerja di Jakarta. Semua persiapan dilakukan terburu-buru. Waktu pindah semakin dekat, tapi hatiku semakin tidak rela untuk melepas Jogja.

Ketika motorku memasuki jalanan dusun di depan rumah ibu Helen, anjing-anjing kampung segera menghambur dan menyalak. Mereka menganggap aku adalah orang asing, dan tatkala motorku makin mendekat, makin hebat pula suara gonggongan mereka. Motorku diparkir, kulepas helm, dan menyapa seorang perempuan yang menggendong bayi di depan rumah. “Permisi, ibu Helen ada?” Perempuan itu mengernyitkan dahi, kemudian menjawab dengan pertanyaan, “Ada, sebentar. Ini dari siapa?” “Bilang saja dari Ary,” jawabku. Perempuan itu ternyata adalah menantu dari ibu Helen. Anaknya yang pertama telah menikah dan dikaruniai seorang anak perempuan.

Nyaris dua tahun aku tidak berkunjung ke rumah ibu Helen dan ternyata ada banyak perubahan yang terjadi. Ibu Helen telah memiliki cucu, anak-anaknya kini sudah ada yang menikah, bekerja, dan juga kuliah. Rumahnya pun mengalami perubahan. Temboknya kini telah ditutupi semen dan dicat berwarna hijau, juga ada sebuah televisi tabung di ruang tengahnya. Rumah itu tak lagi sepi, suara balita dan televisi memecah keheningan.

Ibu Helen tiba dan melihatku. Reaksinya adalah langsung menjewerku. “Kemana aja hampir dua tahun nggak datang ke sini. Tak pikir koe sudah lupa sama rumah ini.” Aku menyalami tangannya dan memohon maaf karena waktu itu terlalu sibuk mengurusi beragam kegiatan di kampus, dan ketika wisuda tiba pun tidak punya cukup waktu untuk datang mampir. Syukur, kamu wes nyambut gawe, atiku yo melu seneng. Aku pikir koe wes lupa sama rumah ini, Ry” ucap ibu Helen.

Sambil mengomel, ia beranjak ke dapur. Seperti biasa, ibu Helen menyajikan segelas teh panas manis sebagai pelengkap obrolan. Kami bertukar cerita, ngalor-ngidul, dan sesi curhat pun dimulai. Waktu terus bergulir, kami bernostalgia dan terkekeh-kekeh mengingat bagaimana pertemuan pertama kami di tahun 2011 berlangsung. Dulu, ibu Helen merasa heran. Bagaimana bisa, seorang bocah SMA yang tinggal di kota, begitu kerasan atau betah tinggal di rumahnya yang amat sederhana ini? Dia pikir, setelah live in itu usai, ya usai saja, tidak ada kelanjutannya. Tapi, ternyata pemikirannya salah. Ada ikatan batin antara aku dan beliau. Aku menganggap beliau seperti ibuku sendiri, yang kehadirannya aku rindukan, dan wejangannya aku dengarkan dengan saksama.

Sebagaimana ibu Helen tidak pernah melupakanku dari kenangannya, demikian juga dengan aku. Enam tahun telah berlalu, tapi ikatan kebersamaan itu tidak pudar. Jarak boleh membentang jauh, tapi itu bukan alasan untuk rindu menjadi padam. Tak banyak perubahan yang terjadi pada ibu Helen. Dia selalu menyambutku dengan hangat, dengan jeweran sayang, juga dengan segelas teh panas. Usianya kini semakin menanjak, uban-uban menjamur di rambutnya yang hitam. Aku pun serupa. Aku tidak lagi bocah SMA yang lugu. Ada kantong mata menggantung hitam di wajahku akibat begadang. Punggungku pun lebih sering sakit karena kelamaan duduk.

Menutup perjumpaan kami hari itu, kami mengambil foto bersama. Ketika waktu mengharuskan aku kembali berpisah, setidaknya foto itu akan jadi kenangan yang manis kalau sejak dahulu hingga sekarang kami masih tetap bersama.

Ibu Helen mengajarkanku bahwa keluarga tidak selalu harus sedarah itu bukan sekadar teori. Aku telah mengalaminya. Seorang yang bukan siapa-siapa tetapi mendapatkan keistimewaan untuk menjadi bagian hidup dari seseorang.

P1050619
Bersama Ibu Helen dan Daru. 3 Maret 2011

 

 

11 pemikiran pada “Bermula dari Sekadar Live-In, Berlanjut Jadi Keluarga

  1. Ibu Helen keliatan masih muda tp ternyata sudah punya cucu ya. Pasti kegiatan live in jadi pengalaman tak terlupakan, apalagi bisa nyambung terus silaturahminya. Salut. 👍

  2. jadi inget program acara di DAAI TV, kurang lebih seperti ini dan aku pengin banget merasakannya hehehe

    1. Iya mas 😀
      Berhubung waktu itu aku tinggal di kota, jadi lihat desa yang masih ijo itu rasanya senang banget. Dan, bukan kebetulan pula bisa jadi dekat banget sama keluarga angkat di sana 😀

  3. Sp sweet. Ibu Helen yang baik dan anak live-in yang penuh kenangan manis. Semoga kalian senantiasa dipertautkan oleh Tuhan.
    Amin

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s