“Harus banget ya main air aja sampai ke Jogja?!” ucap temanku dengan heran. Aku tahu, pertanyaan itu bukan sekadar pertanyaan, melainkan lebih kepada sebuah protes mengapa aku niat pergi jauh-jauh dari Jakarta ke Jogja di Jumat malam, lalu pulang lagi di hari Minggu. Padahal, jika ingin bermain air, Jakarta punya banyak wahana yang asyik.
Sebagai seorang pemuda usia 23 tahun, keputusan untuk traveling di sela-sela pekerjaan bukanlah tanpa risiko. Ada yang mendukung, menyanjung, tapi tak sedikit pula yang mencibir. “Gak mikir apa, mending duitnya dipake nabung”, “Wah, udah banyak duit ya elu,” atau “Inget, modal kawin mahal, bro!” Aku tahu dengan pasti bahwa menabung itu amat perlu dan biaya resepsi kelak tidak murah. Tapi, aku juga tahu bahwa hidup ini hanya terjadi satu kali. Jadi, apa yang hanya satu kali ini akan kumanfaatkan semaksimal mungkin. Toh, siapa pula yang menyangka bahwa seorang Jupe di usianya yang masih kepala tiga ternyata sudah dipanggil pulang?
Bepergian beberapa kali dalam satu bulan bukan berarti aku menjadi seorang yang sembrono, yang menghamburkan uang hanya untuk traveling dan traveling. Aku tetap memiliki kebijakan yang mengatur supaya pengeluaran dan pemasukan itu tetap selaras dan digunakan sebaik mungkin. Bagiku, bekerja dan bepergian adalah dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Pekerjaan itu mengisi dompet, dan perjalanan itu mengisi jiwa. Jika dua-duanya sama-sama terisi, tentu hidup akan lebih nikmat.
Singkirkan sejenak gambaran liburan yang serba mudah dan mewah. Sekalipun anggaranku pas-pasan, tapi sebisa mungkin aku berusaha untuk mendapatkan kesan yang maksimal. Tidak boleh menggunakan kereta api selain kelas ekonomi. Sebisa mungkin tidak masuk ke dalam mal. Makan makanan di kaki lima saja. Hal-hal inilah yang justru membuat perjalanan travelingku terasa menyenangkan. Lewat tulisan ini, aku hendak membagikan sedikit apa yang menjadi filosofiku di balik kesukaanku menghilang dari belantara Jakarta di tiap akhir pekan.
Terlahir di keluarga yang dulu hidupnya pas-pasan membuat bibit traveling tertanam sejak dini. Sewaktu aku masih balita, ayah bekerja sebagai penjual kue pukis keliling. Setiap pagi, kue-kue yang telah siap itu dimasukkan ke dalam keranjang dan diikat di bagian belakang sepeda. Kue-kue pukis itu harus segera didistribusikan ke beberapa pasar di kota Bandung sebelum matahari beranjak tinggi.
Di bagian depan sepeda, ayah membuat sebuah boncengan khusus untuk anak-anak. Boncengan itu berwarna hijau dan diikat kuat di besi sepeda. Di situlah aku duduk selama beberapa jam, wara-wiri di jalanan kota Bandung, dari pasar ke pasar. Aku lupa bagaimana perasaanku waktu itu, tapi aku ingat sebuah peristiwa yang paling kusuka. Setiap kali pukis-pukis itu selesai didistribusikan, sebelum pulang ayah akan membawaku melewati rel kereta api di timur stasiun Bandung. Ada jembatan penyeberangan di sana dan kami berdiri selama beberapa menit di atasnya. Sebagai keluarga pas-pasan, hiburan yang paling bisa dilakukan waktu itu adalah menonton kereta api. Aku yang masih bocah itu senang bukan kepalang tatkala kereta melintas, kemudian menunjuk-nunjuk tiap-tiap gerbongnya sambil merengek, “kapan naik kereta?” Ayah hanya menjawabnya dengan senyum dan “Nanti ya”.
Seiring waktu beranjak, kehidupan ekonomi keluarga mulai membaik dan sekarang aku telah bekerja. Pengalaman duduk di atas sepeda dan kesukaanku pada kereta api itulah yang akhirnya membuat jiwa traveling ini tetap hidup. Setidaknya satu bulan sekali, aku akan pergi menggunakan kereta api kelas ekonomi. Entah itu ke Cilacap, Tegal, Jogja, Bandung, Purwokerto, atau lainnya. Di kota-kota yang kusinggahi itu aku tidak menginap di hotel, melainkan di rumah-rumah teman yang sebelumnya sudah aku hubungi terlebih dahulu.
Jika liburan ditujukan untuk memanjakan diri, traveling yang kulakukan bertujuan untuk melatih diri. Ketika aku duduk berjam-jam di atas kursi tegak kereta ekonomi, aku belajar bahwa hidup tidak selamanya memberi kita kenyamanan. Namun, apabila ingin tiba di tujuan, aku harus bersabar. Ketika duduk berhadap-hadapan dengan orang asing yang sama sekali tidak kukenal, aku belajar untuk bagaimana membuka percakapan. Teori komunikasi boleh menjabarkan puluhan teori tentang interaksi antar manusia, tapi untuk memulai percakapan itu aku belajar bahwa hanya ada satu hal yang diperlukan untuk mencairkan suasana, yaitu dengan senyum dan sapaan tulus.
Tatkala aku kelelahan karena memanggul ransel, aku belajar bahwa dalam hidup ini ada beban yang harus dibawa. Ketika punggungku sakit, aku tidak menjadi bad mood, mengakhiri traveling lalu pulang, tapi aku beristirahat sejenak, sekadar duduk-duduk di peron stasiun, lalu kembali berjalan. Demikian juga dengan hidup. Ketika beban hidup terasa terlalu berat dan membuatku lelah, aku tidak menyerah, melainkan beristirahat sejenak, kemudian melanjutkan rutinitasku lagi.
Tatkala aku menginap di rumah teman-temanku, bukan semata-mata karena aku pelit tidak mau keluar uang banyak. Tapi, dari sanalah aku belajar memahami teman-temanku. Aku belajar untuk bertegur sapa dan bersahabat bukan hanya kepadanya seorang, tapi juga dengan seisi keluarganya. Ketika mereka menerimaku dengan tangan terbuka, aku belajar dan menyadari bahwa sesungguhnya aku dicintai dan memiliki orang-orang yang mendukungku.
Teman-temanku inilah yang mengajarkanku bahwa keluarga itu tidak selalu berkaitan dengan darah. Kebersamaan itu bisa dibangun melintasi sekat-sekat perbedaan. Ketika kami duduk makan bersama-sama dan saling mengobrol, di situlah kami bertukar pikiran dan memperkaya pandangan kami masing-masing.

Tatkala aku membeli sebuah pop-mie di ibu-ibu asongan pinggiran stasiun, aku tidak sekadar membuat perutku yang keroncongan itu terisi. Tapi, lebih dari itu, mungkin saja selembar uang sepuluh ribu yang kubayarkan kepada sang ibu itu dia digunakan untuk membeli beras bagi keluarganya, merawat suaminya yang sakit, membayar tagihan listrik, juga untuk membiayai sekolah anak-anaknya.
Dompetku tidak tebal. Oleh karena itu, aku mau memastikan setiap rupiah yang keluar dari dompetku itu bisa diterima di orang-orang yang tepat. Aku tidak anti terhadap mal dan makan di restoran, hanya saja hatiku terasa lebih nyaman dan sejahtera tatkala aku duduk makan di pinggiran jalan, bersama sepiring pecel lele dan mangkok kobokan.
Aku tidak tahu di mana aku akan berada di masa depan. Namun, satu yang pasti, ke mana sang Khalik menuntun, ke situlah aku kan menuju.
awalnya aku juga jalan2 karena ingin memenuhi tuntutan keberlangsungan blog yang dipunya tapi makin ke sini, makin ingin menikmati sebuah perjalanan dan aku baru tau kalau traveling itu kadang ga perlu jauh-jauh biar bisa disebut sebagai traveler, berkeliling ke kabupaten sendiri pun ternyata menyengangkan dan banyak cerita yang bisa digali.
Iya mas, apalagi di Banjarnegara, tinggal mlipir bisa sampai ke Dieng 😀
kalau dari rumahku, lumayan jauh hehehe
Hehe. Aku pernah ke Dieng, tapi via Wonosobo. Belum pernah kalau lewat Banjarnegara. Tapi, nanti bakal coba mampir ke sana. 😀
emang deket lewat wonosobo kok : )
Sangat setuju dengan pendapatmu mas. Mereka aja yg gatau, kita traveling itu sebenernya banyak susahnya drpd seneng2nya. Misal ngirit makan dr biasanya, jalan kaki lebih jauh dr biasanya.
Mereka aja yg cara memandangnya agak salah.
Banyaak pelajaran yg bs kita ambil drpd sekedar membuang2 uang.
Iyap mas Jo. Krna msh ad yg beranggapan traveling itu pemborosan dan liburan mevvah hahaha 😀
Ah iya setuju dengan kamu mas, just enjoy it
Btw itu foto di selokan mataram ya ?, dulu aku tiap sore juga sering sepedaan dari ugm nyampe ringroad, nelusuri selokan 😂
Bukan mas. Itu fotonya di Boro, Kalibawang, Kulonprogo 😄
Kan emang intake dari selokan mataram di kalibawang hehe.. tapu mungkin emg saluran irigasi lain
Iya mgkin ya 😄. Soalnya setahuku kalo selokan mataram itu di daerah yg namanya Ancol kalo ndak salah.
Lupa hahaha
Setuju sih Mas, gak selamanya bepergian itu buat gaya-gaya’an, tapi investasi untuk beranjak lebih bijak…
Memang banyak orang yang gak tahu betapa ngiritnya orang kayak kita (yang lebih suka numpang daripada di hotel).
Itulah mengapa menurut saya teman juga bawa rejeki, walaupun gak mendatangkan uang, tapi bisa menghemat pengeluaran.
Wkakkwawa
Saya juga banyak sih rekanan jaman dulu yang masih suka kadang saling mampir kalau melintas di kota masing-masing.
Bahkan paling wah adalah teman SMP yang sudah tak jumpa 10 tahun malah bisa saya singgahi saat saya ke Banda Aceh, ahaha gak menyangka sama sekali…
Hehehe. Bener banget mas. Lagian, hidup cuma satu kali toh ya. Harus dimaksimalkan 😀