Melintasi empat provinsi di Jawa sejauh 570 kilometer bukanlah perjalanan yang pendek.
“Berhentinya berapa lama, ya?” tanya seorang bapak di bordes kereta. Dua jam sebelumnya, Bengawan, kereta api dari Purwosari tujuan Pasar Senen baru saja bertolak dari stasiun Lempuyangan. Para penumpang yang didominasi lelaki itu sudah gelisah. Tatkala kereta api berhenti sejenak untuk bersilang, mereka menghambur ke luar gerbong. “Lumayan, bisa udud dulu,” tandas bapak tadi seraya menyalakan sebatang rokok.
Sore itu, di stasiun Sruweng, kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, Bengawan terhenti lajunya karena harus berbagi rel dengan KA Gaya Baru Malam Selatan yang bertolak menuju Surabaya. “Minggir, minggir!” penjaga stasiun berteriak, sementara itu dalam jarak beberapa ratus meter saja, rangkaian kereta api Gaya Baru melaju dengan kecepatan penuh, menyisakan angin yang menghempaskan debu-debu di pelataran stasiun. Satu menit kemudian, Bengawan melanjutkan perjalanannya kembali ke arah barat.
Tidak ada kursi kosong yang tersisa di tiap-tiap gerbong Bengawan hari itu. Tas-tas, koper, dan kardus memenuhi semua kabinet bagasi. Seiring kereta yang melaju cepat, masing-masing penumpang mengeluarkan jurusnya untuk bisa menikmati perjalanan. Di ujung gerbong, sekelompok bapak-bapak tertawa meledak. Mereka bercanda dalam bahasa Jawa. Sesekali, candaan mereka membuat penumpang lain tersenyum kecut.

Beberapa penumpang lain menghanyutkan diri mereka dalam dunia maya. Tatapan mereka tertuju ke layar ponsel, sementara badannya bergoyang-goyang mengikuti irama gerbong. Ada pula yang memilih tidur. Seorang bapak di sebelah kiriku malah membawa sarung, mengenakannya di pinggang, dan tertidur pulas, seolah-olah gerbong itu adalah kediaman pribadinya.
Pukul 17:00, tatkala kereta mulai mendekati stasiun Gombong, waktu berbuka puasa juga semakin dekat. Suasana gerbong jadi semakin riuh. Penumpang yang tadinya saling diam akhirnya membuka obrolan seputar menu berbuka. Kelompok bapak-bapak di ujung gerbong sudah siap dengan satu plastik besar es sirup yang mereka bawa. Sementara itu, penumpang lainnya telah siap dengan perbekalan masing-masing.
“Para penumpang yang terhormat, saat ini waktu berbuka puasa telah tiba,” kata seorang pramugara lewat pengeras suara. Pengumuman itu segera disambut dengan “Alhamdullilah”. Penumpang di depanku membawa serta dua bungkus kolak pisang dalam tasnya. Dengan hati-hati, dia membuka ikat karet di ujung plastik. Matanya terpejam sejenak—mungkin berdoa—kemudian dia meraih sendok dan memakan hidangan manis itu dengan lahap.
Kala penumpang tengah asyik dengan menu berbuka puasa mereka, Bengawan telah tiba di Stasiun Gombong dan berhenti selama 10 menit. Hanya segelintir penumpang yang naik dari Stasiun Gombong, mungkin karena kursi kereta sebelumnya telah penuh sejak berangkat dari Jogja. Sebenarnya, pemberhentian Bengawan di stasiun Gombong itu bukan sekadar untuk menaik-turunkan penumpang, melainkan karena harus berbagi rel dengan kereta lainnya.

Di tahun 2017 ini, manajemen kereta api berusaha untuk membuat jalur tunggal menjadi ganda untuk membuat perjalanan kereta api menjadi lebih efektif. Sepanjang jalur dari Jakarta hingga Solo, hampir semuanya telah berjalur ganda, kecuali di petak antara Purwokerto hingga Kutoarjo. Keberadaan jalur tunggal ini tinggal menghitung hari, karena untuk saat ini jalur Purwokerto-Kroya sedang digarap jalur ganda. Artinya, tinggal menunggu waktu, jalur Kroya hingga Kutoarjo pun akan segera dibuat ganda.
Bagi sebagian orang, perjalanan yang makin cepat tentu makin baik. Tapi, buatku sendiri, perjalanan yang baik itu tidak melulu harus selalu cepat. Ketika kereta api harus berhenti beberapa saat untuk menanti kereta lainnya melintas, momen ini adalah momen yang paling kunantikan. Aku bisa turun ke luar gerbong, mengamati keadaan, mengobrol dengan petugas stasiun, juga mengambil beberapa foto sebagai bahan koleksi.
Kereta api Bengawan lainnya yang bertolak dari Jakarta telah tiba di stasiun Gombong. Pengeras suara stasiun segera menggema, “Kereta api Bengawan tujuan akhir Pasar Senen siap diberangkatkan.” Satu panggilan itu dengan segera menarik puluhan penumpang yang berkeliaran di sekitaran gerbong segera masuk kembali. “Priiiiitttt…” peluit panjang melengking dan kereta api kembali melaju.
Masih tersisa waktu 6,5 jam sampai Bengawan tiba di Pasar Senen. Setelah perut terisi penuh, satu per satu penumpang jatuh tertidur. Ada yang tidur dengan duduk tegak di kursi, tapi ada pula yang membawa koran dan menyembunyikan tubuh mereka di kolong kursi-kursi. Sebelum kereta api melakukan transformasi, dulu, penumpang bebas melakukan apa saja di dalam gerbong kereta. Mulai dari merokok, tidur bergelimpangan, semua bebas dilakukan tanpa ada sanksi. Akibatnya, gerbong menjadi tidak nyaman dan aman. Di setiap stasiun, puluhan pedagang, pengamen, dan pengemis merangsek masuk, bahkan di antara mereka ada pula penyusup berupa tukang copet. Namun, syukurlah karena itu dulu, sekarang kereta api telah berbenah diri.
Bengawan adalah kereta api kelas tiga, alias kelas ekonomi. Untuk perjalanan sejauh 570 kilometer dari Jakarta menuju Solo, Bengawan membutuhkan waktu 9 jam 20 menit, melintasi provinsi DKI Jakarta-Jawa Barat-Jawa Tengah-D.I Yogyakarta. Jarak yang jauh itu cukup dibanderol dengan tarif sebesar Rp 74.000,-. Tarif yang amat merakyat! Bandingkan dengan tarif bus umum, pesawat, atau kereta api lainnya, tarif ini amat murah.

Karena tarifnya yang nyaman di kantong, Bengawan selalu jadi pilihan yang pertama kucari setiap kali akan bertolak ke Yogyakarta. Namun, untuk mendapatkan tempat duduk di Bengawan, dibutuhkan usaha lebih. Sangat sulit mendapatkan kursi kosong di gerbong Bengawan, terutama saat akhir pekan atau libur panjang tiba. Tiga bulan sebelumnya pun tiket kereta ini sering ludes duluan!
Lintas dari Jakarta ke Yogya sebenarnya bisa dilayani dengan beberapa kereta, namun jika dibandingkan dengan kereta ekonomi sejenis, Bengawan memang menjadi juaranya. KA Progo yang merupakan kelas tiga, dibanderol seharga Rp 125.000,- per sekali jalan. KA Gaya Baru Malam Selatan dibanderol Rp 104.000,-. KA Jaka Tingkir dibanderol dari Rp 170.000 hingga Rp 230.000,-. KA Krakatau dibanderol Rp 270.000,-. KA Gajahwong dan Bogowonto dibanderol Rp 150.000 hingga Rp 220.000,-. Jadi, jelas toh bahwa Bengawan adalah sang pemenang tarif termurah.
Tarif murah KA Bengawan ini disebabkan karena kebijakan pemerintah untuk memberikan subsidi kepada beberapa rangkaian kereta api kelas ekonomi. Kereta Api Progo sudah tidak lagi masuk ke dalam golongan yang diberi subsidi, oleh karena itu tarifnya naik. Tahun 2014 yang lalu, aku masih sempat menikmati KA Progo dengan tarif Rp 50.000,- dari Pasar Senen menuju Lempuyangan.
Namun, kita patut berbangga karena terlepas dari harga tiketnya, kereta api Indonesia terus berbenah diri. Perjalanan kini menjadi lebih aman dan nyaman. Stasiun disterilkan. Pemesanan tiket bisa dengan mudah secara online. Setiap gerbong kelas apapun kini telah dilengkapi dengan pendingin udara, jadi tidak ada lagi istilah ‘mati kepanasan’ di dalam gerbong.
Dengan hadirnya pendingin udara, otomatis semua perjalanan kereta api menjadi perjalanan bebas asap rokok. Penumpang tidak lagi diperkenankan untuk merokok di dalam rangkaian gerbong. Jadi, bagi sebagian perokok, momen kereta berhenti dimanfaatkan sebaik mungkin untuk menyalakan batang rokok mereka di luar gerbong.
Tak terasa, Bengawan terus melaju ke arah barat. Selepas stasiun Cirebon Prujakan, laju kereta ditingkatkan. Bengawan tidak berhenti di satupun stasiun di sepanjang lintasan ini. Pukul 23:45, Bengawan tiba di Bekasi, dan pukul 00:20 tiba dengan tepat waktu di stasiun Pasar Senen.
Menutup perjalanan hari itu, sebuah motor ojek telah menantiku di depan stasiun Senen. Perjalananku masih panjang, 18 kilometer menuju kamar kost. Perjalanan di atas Bengawan mungkin membuat punggungku lelah, tapi jiwaku bersuka, dan kantongku pun nyaman.
Membaca cerita ini mampu menenangkan jiwaku, bahwa naik KA ekonomi tdklah seseram yg dibayangkan. Ada seninya pula lg. Trims sudah berbagi mas Aryantowijaya. Sy jg akan naik Bengawan utk pertama kali. Wish me luck hehehe 😁
Enjoy the journey mas!
Naik bengawan dari Jakarta atau dari Purwosari?
Abis ini bengawan kayaknya mau naik mas harganya 😅
Soalnya kaum PJKA semenjak progo naik pada beralih pake bengawan.
Bener juga ya, nanti kalo jalur ganda sepenuhnya jadi, bakal sedikit pemberhentian buat bersilang dg kereta lain.
Padahal sensasi menunggu kereta lain lewat itu seninya naik kereta ekonomi. Tapi bagaimanapun ini demi kemajuan transportasi kereta api yanh semakin cepat dan nyaman.
Iya, bener.
Aku berharap dengan adanya jalur ganda, perjalanan KA juga bertambah. Soalnya, dapetin tiket kereta ke Jogja dari Pasar Senen di hari Jumat malam itu amat sangat sulit. Hahaha
Terakhir kali naik bengawan sekitar 1,5 tahun lalu, pas itu dapet tiket promo 45 ribu kalo ndak salah 😂😂
Iya, bener.
Aku berharap dengan adanya jalur ganda, perjalanan KA juga bertambah. Soalnya, dapetin tiket kereta ke Jogja dari Pasar Senen di hari Jumat malam itu amat sangat sulit. Hahaha
Iya mas, sepertinya dua tahunan lalu hampir semua kereta ekonomi masih dapet PSO, alias subsidi. Aku naik Progo aja (waktu itu udah AC) ke Lempuyangan kena 50 ribu.