Mobil elf renta yang membawa kami bergoyang-goyang tidak karuan di sepanjang jalan menuju Bukit Lawang. Lubang-lubang yang menganga itu menjadikan perjalanan ini jauh dari kata nyaman. Asap rokok penumpang pria turut berpadu dengan udara panas. Sungguh, lima jam perjalanan itu amat menyiksa.
Ketika akhirnya mobil tua itu tiba di tujuan akhir, betapa leganya hatiku. Petualangan yang menantang baru saja dimulai. Sebelumnya, kota Medan telah membuatku kecewa dan nyaris bangkrut, pun ruas-ruas jalan rayanya yang semrawut membuatku muak. Tapi, syukurlah semua mimpi buruk itu telah berlalu. Tak ada lagi kemacetan. Tak ada lagi sahut-sahutan klakson. Semua hiruk-pikuk metropolitan telah berganti menjadi nuansa pedesaan yang begitu asri.
Siang itu kami terdampar di terminal yang lebih layak disebut lapangan bola. Tak ada satupun kendaraan lain selain dari mobil tua yang baru saja kami tumpangi. Tak ada bangunan luas ataupun papan informasi petunjuk arah. Semua terasa begitu lowong, apalagi waktu itu matahari tengah bersinar dengan teriknya.
Kami membuka buku Lonely Planet yang menjadi pedoman perjalanan. Tatkala mata kami sibuk menerawang informasi tentang Bukit Lawang, seorang pemuda datang dan menepuk pundakku. Sambil menebar senyum, dia berkata “You need homestay, sir? Come with me, its cheap.” Hmmmm. “How much?” tanyaku. Dia menjawab ,“75, sir.” Aku tidak terlalu percaya dengan pemuda itu, jangan-jangan dia ingin menjebloskan kami ke penginapan dengan harga selangit. Lagipula, harga 75 ribu itu masih tergolong mahal bagi kami.
Pengalaman diberi harga tak wajar selama di Medan membuatku merasa antipati dengan tawaran-tawaran seperti itu. Sambil memanggul ransel, aku mengajak Johannes untuk berlalu dan meninggalkan pemuda itu. Menurut buku Lonely Planet, ada penginapan-penginapan yang harganya 50 ribu Rupiah per malam. Kami memilih untuk berpedoman pada buku saja.

Tapi, pemuda itu terus mengikuti kami. Dengan kosa-kata bahasa Inggris yang ala kadarnya dia terus membujuk kami untuk ikut dengannya. Lama-lama kami tidak tega juga dan Johannes pun menjawab tawarannya. “We don’t want to stay at yours, unless you give us price 50 thousand.” Dia menggeleng dan mengatakan harga itu terlalu murah. Ya sudah, kami terus berjalan. Tapi, bukannya berhenti dan pulang, dia malah terus mengikuti kami. Akhirnya setelah melakukan tawar menawar yang cukup pelik, dia pun menyetujui harga yang kami inginkan, 50 ribu untuk kamar penginapan.
“Makasih ya, bang!” ucapku seraya tersenyum. Dia malah menjawabku dengan ekspresi kaget. “Loh, abang bisa bahasa Indonesia? Kirain orang Singapur bang!” Jawabannya malah membuatku balik merasa kaget. Masa iya wajahku menyerupai orang Singapura? Mungkin mataku yang agak sipit inilah yang jadi penyebabnya. Tapi, siapa peduli! Yang penting hari itu kami mendapatkan penginapan yang sesuai kantong.
Di tengah siang bolong kami berjalan kaki. Menembus jalan setapak melewati rumah-rumah sederhana. Sesekali anak-anak yang tengah bermain memanggil-manggil “Mister! Mister!” Aku tahu, yang mereka panggil itu Johannes, bukan aku. Tapi, dengan berlagak percaya diri aku turut melambaikan tanganku kepada mereka.

Tiga puluh menit berjalan, tibalah kami di sebuah pondok sederhana yang terletak persis di tepi sungai Bahorok. Pondok ini berlantai keramik. Ada dua kasur kecil dan satu kamar mandi di dalamnya. Fasilitasnya hanya itu, tapi, tepat di depan pintu kamar tersaji pemandangan yang membuatku berdecak kagum. Aliran air sungai Bahorok yang jernih itu meluncur deras, menerjang batu-batu kali yang tersebar di alirannya.
“50 thousand is nice, Ary!” tukas Johannes. Aku amat bersyukur karena pemuda itu ternyata tidak menipu. Aku jadi merasa bersalah karena waktu di terminal malah sempat berpikiran negatif terhadapnya. Sebelum dia beranjak pergi, cepat-cepat kutemui dia. Kujabat tangannya seraya berkata “Makasih ya bang!” Kemudian ia berlalu. Katanya sih dia akan kembali ke terminal, mencari tamu-tamu turis mancanegara lainnya untuk diajak menginap di penginapan miliknya.
Aku masih terpukau akan pemandangan di sekitarku. Tatkala aku sibuk memotret, Johannes sudah melepas bajunya dan langsung menghujamkan badannya ke kasur. Kemudian tak sampai berapa lama, dia sudah ngorok. “Dasar bule pelor, nempel dikit, langsung molor” gumamku.
Tempat di mana penginapanku berdiri adalah tempat yang paling banyak diincar oleh backpacker-backpacker Barat. Ternyata, salah satu penginapan yang namanya tercantum di Lonely Planet juga berada di dekat lokasi penginapanku. Di seberang sungai yang dihubungkan dengan jembatan gantung terdapat pasar wisata yang menjual beraneka-ragam cindera mata. Jika kuperhatikan sekilas, pasar wisata ini mirip dengan pasar-pasar busana yang lumrah ditemui di sepanjang pantai Pangandaran, Jawa Barat.
Hari itu, tidak ada aktifitas berarti yang kami lakukan. Setelah Johannes terbangun, kami memilih untuk tidak mandi di kamar mandi, melainkan dengan membawa handuk kecil, kami menelusuri sungai. Aliran air di sini amat jernih dan menyegarkan. Airnya pun sejuk, tapi tidak terlalu dingin. Karena dalam beberapa hari itu tidak turun hujan, maka aliran air tidak terlalu deras dan kami bisa bermain hingga ke tengah sungai.


Suasana sore itu amat damai. Tak ada suara apapun selain dari suara-suara alam. Gemericik air, sahut-sahutan suara burung, dan suara angin semua berpadu menjadi satu menghasilkan simfoni alam yang amat merdu. Tanpa berpikir lama, kami berdua segera menenggelamkan badan ke dalam air. Satu, dua, tiga, byurrr. Amat segar. Kami merasa seperti berada di surga, walaupun kami sendiri belum pernah pergi ke surga.
Mimpi buruk kedua
Hari itu, Sabtu, 27 Juni 2015. Malam harinya kami menyusun rencana berapa lama akan kami habiskan di Bukit Lawang. Johannes amat bersemangat untuk bertemu Orang Utan secara langsung. Bukit Lawang adalah salah satu habitat alami Orang Utan yang terkenal di seluruh dunia. Inilah yang membuat lokasi wisata terpencil di tengah hutan ini menjadi amat terkenal di kalangan backpacker. “How about if we do trekking tomorrow?” Tanya Johannes. Aku mengangguk, dan mengikuti apa saja kemauannya. Setelah kesepakatan terwujud, kami beranjak menemui asosiasi guide lokal.
Tidak tanggung-tanggung, harga yang dipatok untuk satu kali trekking di Bukit Lawang adalah 80 Euro. Harga itu hanyalah untuk paket 2 hari 1 malam, sedangkan paket paling wahid untuk trekking satu minggu dibandrol hingga ratusan Euro. Mataku terbelalak. Buatku itu cukup aneh, bagaimana bisa masuk hutan biayanya lebih mahal daripada belanja ke mal?
Tapi, aku tidak terlalu ambil pusing karena Johannes yang membayari biaya trekking itu. Jadi aku hanya manut seraya tersenyum bahagia dalam hati. Setelah semua keperluan administrasi selesai, pemandu yang besok akan mengantar kami menjelajah jantung rimba Sumatra membawa kami untuk berkenalan dengan tim. Peserta trekking di Bukit Lawang akan dikelompokkan dalam kelompok kecil yang beranggotakan lima orang plus dua pemandu. Waktu itu, aku bergabung bersama Johannes, Annete, seorang backpacker dari Belanda, dan sepasang ayah anak dari Rusia.
Pukul 09:00 pagi kami tengah bersiap di pelataran sebuah kafe. Aku begitu bersemangat karena trekking dalam bayanganku adalah berjalan-jalan santai di hutan, mirip seperti jalan kaki di Tahura antara Dago dan Maribaya di Bandung. Dengan percaya diri, aku membawa serta ransel ukuran 35literku. Di dalamnya kujejali dua botol mineral besar, kamera, baju, handuk, dan sempat-sempatnya membawa satu buah buku.
Seharusnya kami segera berangkat, tapi sepasang ayah dan anak Rusia itu ternyata mengalami diare. Jadi, dengan ikhlas kami menanti hingga 30 menit. Setelah semua anggota rombongan siap, perjalanan pun dimulai. Dua orang pemandu berjalan masing-masing di depan dan belakang. Mereka bertugas menjaga agar kami tidak hilang tersesat. Perjalanan ini dalam waktu normal akan ditempuh 8 hingga 10 jam. Ya, ya, aku masih bersemangat.
Etape pertama amatlah mulus. Kami berjalan menyisir sungai. Walaupun jalanan berbatu, tapi aku masih tetap bisa mengikuti langkah kaki mereka. Tak sampai lima menit berlalu, mimpi buruk kedua segera dimulai. Jika dua hari sebelumnya aku harus mengalami mimpi buruk bersama kecoak-kecoak, hari itu aku kembali menyaksikan mimpi buruk, yang bahkan teramat buruk buatku.
Gambaran trekking yang menyenangkan seketika ambyar tatkala trek yang kulihat itu tidak berbentuk. “Kita ke mana ini?” tanyaku. Pertanyaanku segera dijawab dengan memanjat. Salah seorang pemandu segera memanjat sebuah batu cadas, kemudian dia mengulurkan tangannya untuk menarik tiap anggota naik. Aku menelan ludah dalam-dalam. “Mampus aku!” Aku pun jadi orang yang paling terakhir untuk naik ke atas batu cadas itu.
Perjalanan semakin liar. Trek hutan yang masih perawan itu dipenuhi oleh lumpur-lumpur, batu-batu cadas. Tak jarang trek yang kami lalui berakhir di depan tebing. Seperti laba-laba, kami harus merayap pelan-pelan. Tak sampai 30 menit, kakiku gemetar, wajahku memerah bak tomat kebakaran. Semua tim panik, mereka takut aku meninggal tiba-tiba jadi kami pun beristirahat sejenak.
Dua orang pemandu itu agak takut dengan keadaanku. Aku dapat mendengar mereka bergumumam, “Payah kali itu orang lokal! Baru segini dah mau mati dia.” Emosiku terbakar. Aku merasa malu. Bagaimana bisa, aku yang lahir dan besar di Indonesia, yang katanya kaya dengan hutan, eh malah harus mati di tengah hutan? Aku bergumam keras dalam hati. “Bisa, bisa bisa bisa!” Kemudian perjalanan dilanjutkan.
Setiap 15 menit, aku meminta berhenti. Aku tak tahu apa yang ada di pikiran anggota timku yang lain. Entah mereka marah, kesal, atau apapun, aku tidak peduli. Perjalanan trekking itu membuatku mengucap doa setiap menitnya. “Ya Tuhan, jangan mati sekarang, belum lulus, belum nikah. Tapi, kalau harus mati, jangan sakit, ya Tuhan!” Rupanya, Tuhan mendengar doaku.

Menjelang tengah hari, Johannes menarawarkan dirinya untuk menggendong ranselku. Otomatis punggungku pun terasa lebih lega dan aku bisa bergerak dengan leluasa. Setelah melakukan trekking selama lima jam, tibalah kami di tahap yang lebih mengerikan. Jika sebelumnya perjalanan didominasi dengan trek menanjak, kali ini kami harus menuruni bukit. Rasa takutku jadi berlipat ganda. Jika trek menanjak membutuhkan tenaga ekstra, trek turun membutuhkan nyali yang ekstra.
Aku iri melihat Johannes, Anette, dan dua Rusia itu bisa turun dengan cepat. Seperti siluman kera, mereka berjalan dengan luwes, sambil tangannya memegang erat dahan-dahan yang bergantung. Johannes dan Annet sempat beberapa kali terjatuh hingga tangannya terluka. Tapi, mereka acuh tak acuh terhadap luka itu. Mereka terus menuruni bukit dengan perlahan tapi pasti.
Melihat gaya mereka menuruni bukit, aku malah tertegun. Doaku semakin intens kuucapkan dalam hati. Jika mereka menuruni bukit itu menggunakan kaki, aku menggunakan pantat. Ternyata, cara ini terbukti ampuh! Walaupun aku memakan waktu jauh lebih lama, tapi setidaknya aku selamat sampai tujuan.
Setibanya di bibir sungai, mereka semua tertawa melihatku. Badan penuh keringat, wajah merah, kaki bergetar, dan pantat penuh lumpur. Alih-alih mengejek, mereka malah menjabat tanganku dan berkata, “Great job, Ary! You did it!” Aku termangu. Seharusnya mereka marah karena aku membuat trekking ini jadi jauh lebih lama. Bagaimana bisa mereka malah memberiku semangat dan mengucapkan selamat?
Kusimpan pertanyaan itu dalam hati. Sebelum aku mendapatkan jawabannya, kami harus segera menyeberangi sungai sebelum hari semakin gelap. Karena malam sebelumnya hujan turun cukup deras, debit air di sungai menjadi tinggi. Rasa takutku kembali membuncah. Air sungai nan deras itu menerjang tubuh hingga setinggi dada. Sesekali aku hampir terhanyut, namun tangan Johannes terus memegangku dengan erat hingga aku pun tiba dengan selamat di seberang sungai.


Akhirnya, perjalanan hari itu selesai! Kami membutuhkan waktu 11 jam untuk tiba di lokasi. Setiap persendianku terasa mau putus. Pantatku lecet, juga sekujur kaki dan tangan. Ada darah-darah segar yang menetes karena sepanjang jalan aku membiarkan pacet-pacet hinggap di kulit.
Gulita di tengah belantara
Tim berbagi tugas. Aku menyiapkan tiang gantungan untuk menjemur pakaian kotor. Dua pemandu menyalakan api dan mempersiapkan makan. Johannes dan Annet membantu mendirikan tenda. Sedangkan dua orang Rusia itu malah jatuh tertidur.
Ketika langit telah sepenuhnya menjadi gulita, api unggun menjadi sumber cahaya satu-satunya. Sambil mengahangatkan diri, kami menikmati santapan makan malam amat sederhana. Mie rebus dicampur dengan daun-daun yang kami petik di hutan. Karena perut yang lapar, santapan itu terasa amat istimewa. Seketika perut kami menjadi hangat.
Malam itu begitu teduh. Tak ada distraksi apapun yang memisahkan kami dengan kehangatan alam. Baterai ponselku telah sepenuhnya wafat, demikian juga dengan ponsel anggota tim lainnya. Lagipula, buat apa berpusing soal baterai ponsel, toh tidak ada sinyal juga di sana.
Setelah perut kami semua terisi, tibalah kami pada sesi yang paling menyenangkan, yaitu diskusi. Akhirnya, setelah berjam-jam mengadu nasib di tengah belantara, kami dapat saling mengenal. Orang pertama yang mengenalkan dirinya adalah Anette. Dia adalah seorang perempuan Belanda yang ‘ditugasi’ oleh perusahaannya untuk pergi berlibur. Bosnya, kata Anet, menyuruhnya untuk melakukan traveling selama tiga minggu, bebas ke manapun yang dia mau. Karena Anet menyuaki petualangan, maka dia memilih Sumatra sebagai destinasi utamanya.
Setelah Anet selesai, kini giliran dua Rusia yang adalah sepasang ayah dan anak memperkenalkan diri. Alex, nama sang Ayah adalah seorang insinyur yang ditugaskan bekerja di Banda Aceh. Dalam rangka liburan sekolah, dia mengajak putranya yang tinggal di Rusia untuk datang berkunjung ke Indonesia. Ayah dan anak ini membuatku iri. Aku lahir dan tumbuh di keluarga broken-home. Jangankan bepergian bersama ayah, ditepon untuk ditanyai kabar pun tidak pernah.
Sesi berkenalan itu berubah menjadi pembicaraan tak keruan. Tatkala Anet memilih untuk tidur, pembicaraan kami mulai menjurus ke sesuatu tentang seks. Sejujurnya aku merasa takut. Di Jawa, biasanya tabu atau pamali apabila berbicara sesuatu yang jorok di tengah hutan. Bisa-bisa membuat makhluk halus marah. Aku memilih untuk pergi tidur daripada hantu-hantu hutan menyerangku.
Malam itu aku tidur dengan amat nyenyak. Tentunya dengan bantuan berlembar-lembar koyo salonpas yang kutempel di sekujur tubuh. Tulang-tulang yang remuk itu seolah bersatu kembali. Kupejamkan mata rapat-rapat seraya berbisik, “Matur nuwun, Gusti!”
Hari itu, ada secuil kebanggaan dan rasa syukur tak terkatakan dalam hatiku. Destinasi kedua ini mengajarkanku untuk mengalahkan rasa takut. Walaupun aku harus berjalan terseok-seok, menuruni bukit dengan pantat hingga lecet, tapi aku belajar untuk berjuang. Ada kalanya perjalanan hidup tidak sesuai dengan ekspektasi. Ada kalanya trek kehidupan yang dilalui seolah menjerumuskan kita ke lubang maut. Tapi, satu yang aku syukuri adalah Dia yang membawaku memulai perjalanan ini, tentu Dia jugalah yang membimbingku hingga aku bisa tampil sebagai pemenang.
***
Senin, 29 Juni 2015. Ketika mentari mulai naik, halimun pagi masih mendekap sebagian sudut belantara. Sementara sarapan pagi dibuat, dua Rusia sudah asyik mencemplungkan dirinya ke dalam aliran air. “Gila” pikirku. Apa mereka tidak dingin ya, tapi mungkin air sungai ini tidak apa-apanya untuk mereka. Toh, di negaranya mereka terbiasa hidup di tengah es.
Sarapan pagi kembali disajikan. Masih dengan menu berupa mie, namun ditambahi dengan aneka buah segar sebagai penutup. Buah-buah itu didapat dari hutan. Ada nanas, papaya, pisang, dan jambu air. Kami menyantap dengan lahap semua makanan itu.
Di hari kedua tidak banyak yang kami lakukan. Kami berjalan-jalan di sekitar lokasi kemah. Bermain air, mandi di air terjun, menyeruput teh panas, dan juga berkemas untuk perjalanan pulang.
Aku bisa bernafas lega karena perjalanan pulang ini akan jadi perjalanan paling mengasyikkan. Kami akan pulang dengan river tubbing. Di lokasi kemah ternyata sudah disediakan empat ban besar, mungkin seukuran ban truk. Ban-ban itu kemudiaan diikat secara berbaris menyerupai kereta api. Di bagian depan dikhususkan untuk seorang pemandu. Dia membawa tongkat panjang yang berfungsi mencegah ban menabrak cadas. Sedangkan di bagian paling belakang, seorang pemandu bertugas menjaga barang bawaan yang sebelumnya telah dibungkus plastik raksasa agar tidak terhempas. Dia juga membawa kayu panjang untuk membantu mengarahkan laju ban-ban kami.
Setelah segala perbekalan dikemas, kami bersiap pulang. Masing-masing kami siap di posisi. Tidak ada satupun di antara kami yang menggunakan pelampung. Tapi, kami tenang-tenang saja. Dalam hitungan satu, dua, tiga, kami pun hanyut terbawa aliran sungai yang deras. Perjalanan terasa kian menantang tatkala ban kami harus melewati jeram yang panjang. Tubuh kami terguncang-guncang, terayun ke kanan kiri. Seraya berpegangan tangan erat, kami menjerit-jerit kegirangan.

Sungai Bahorok memang luar biasa. Aliran airnya amat jernih dan mengalir deras. Kehadiran kawasan konservasi Bukit Lawang telah menjadi penyelamat aliran air ini. Jika suatu saat hutan-hutan ini beralih menjadi ladang sawit, tentu cerita akan berubah. Sungai Bahorok yang kemudian mengalir ke hilir, menjadi berkat bagi ribuan jiwa yang tinggal di sisinya.
Perjalanan river tubbing kami telah mendekati tujuan akhir. Dari jauh aliran sungai mulai melambat dan bangunan-bangunan penginapan terlihat samar. Dua jam lebih kami habiskan dengan terayun-ayun di atas ban. Setelah tiba di lokasi, kami pun berpamitan. Sayang sekali karena tidak sempat berfoto bersama.
Sekembalinya di penginapan, kami menyusun rencana selanjutnya dari perjalanan ini. Setelah dari Bukit Lawang, kami memiliki dua pilihan. Pergi ke Nias, atau ke Aceh. Pilihan kami jatuh kepada Aceh. Setelah berkutat dengan pegunungan, tujuan kami selanjutnya adalah pesisir Aceh.
