Sumatra (1) | Petualangan Pertama di Tanah Sumatra

Dua puluh satu tahun hidup di tanah Jawa membuat saya bertanya-tanya: seperti apa sih Sumatra itu? Yang saya tahu, dulu Kerajaan Sriwijaya pernah berdiri di sana, dan sekarang nama Sumatra sering disebut kalau bencana kabut asap terjadi. Selebihnya, saya tidak tahu apa-apa tentang pulau nan besar ini sampai akhirnya di bulan Juni 2015, tanpa pengalaman apa pun, saya tiba di Sumatra untuk sebuah perjalanan panjang selama 29 malam

Kamis, 25 Juni 2015

Jam satu siang saya tiba di Bandara Husein Sastranegara, Bandung dan menanti pesawat yang akan lepas landas pukul 15:30. Perasaan saya campur aduk. Senang tapi juga takut. Saya tidak tahu seperti apa Sumatra yang nanti akan saya pijak. Lalu, saya pun tidak punya rencana jelas akan pergi ke mana setelah tiba di sana, selain nanti dijemput oleh seorang rekan SMA dulu yang katanya bersedia menjemput.

Oh ya, sebelum saya bercerita lebih jauh, perjalanan ke Sumatra ini terwujud berkat Johannes Tschauner, seorang bule Jerman yang dulu pernah bertemu dengan saya di Jogja. Pertemuan kami selama lima bulan di Jogja membuat kami menjadi sahabat karib. Dan, di tahun 2015 ini Johannes (saya memanggilnya Jo) melakukan perjalanan keliling Asia. Rute terakhirnya adalah Indonesia, dan dia pun mengajak saya untuk menemani perjalanannya. Jo menanggung seluruh biaya akomodasi perjalanan ini. Jalan-jalan, gratis, tentu saya pun girang luar biasa saat mendapatkan ajakan ini. Tanpa tedeng aling-aling, saya segera menjawab “Yes!” dan terwujudlah perjalanan ini.

Satu bulan sebelum keberangkatan ke Sumatra ini, saya dan Jo hanya berkomunikasi melalui Facebook. Jo yang kala itu sedang berada di Nepal mengatakan pada saya supaya nanti langsung bertemu di Medan saja. Dia akan naik pesawat siang dari Bangkok supaya tiba di Medan sekitar jam 5 sore. Saya pun disuruh memilih pesawat yang jam tibanya tidak jauh-jauh amat dari jam lima. Pilihan saya jatuh pada penerbangan QG 924 yang waktu tibanya jam setengah lima dan biayanya 700 ribu. Bungkus!

20150625_134314

Pukul 14:30, sebuah pesawat Airbus A320 dengan registrasi PK-GQG milik maskapai Citilink yang terbang dari Denpasar sudah mendarat di landas pacu bandara Husein. Pesawat inilah yang akan segera menjadi tumpangan saya ke Medan. Saya cek di Flightradar, usia pesawat ini masih sangat belia, baru 3 bulan saja. Rasanya menyenangkan dan menenangkan bisa terbang dengan pesawat baru.

Pukul 15:00, panggilan boarding diumumkan. Saya melangkah masuk ke dalam pesawat. Aroma barunya masih terasa. Kursi-kursi dibalut warna hitam dan hijau, plus iklan-iklan bertebaran di bagasi kabin. Maklum, maskapai penerbangan murah, jadi banyak iklan.

Tanpa kendala yang berarti, dalam dua puluh menit pesawat telah terisi penuh. Pintu ditutup. Prosedur keselamatan diperagakan. Dan, pesawat mulai berjalan menyusuri landas pacu, mengambil ancang-ancang. Whuuuzzzz. Mesin menderu dan pesawat bergerak semakin cepat hingga akhirnya mengangkasa. See you again tanah Jawa! Sumatra aku datang!

 

Penerbangan dari Bandung menuju Medan memakan waktu dua jam. Selama dua jam inilah rasa was-was dan antusias memenuhi pikiran saya. Was-was karena sejujurnya saya bukanlah orang yang sering terbang. Masih ada rasa panik ketika pesawat bergoyang sedikit menembus awan. Apalagi dalam pikiran saya teringat cuplikan film Final Destination 1 yang isinya tentang kecelakaan pesawat. Saya berusaha usir jauh-jauh pikiran itu dengan memikirkan berbagai keseruan yang nanti akan saya hadapi di Sumatra.

Pukul 17:20, pesawat mendarat dengan mulus di landas pacu bandara Kuala Namu. Saking mulusnya, pesawat ini terasa seperti mengapung di atas aspal!

Tiba di Kuala Namu

Bandara Kualanamu megahnya memanjakan mata. Landas pacunya 3 kilometer lebih. Pantas saja, pesawat mendarat mulus. Tidak buru-buru direm seperti kalau mendarat di Bandung yang panjang landasannya cuma 2,2 kilometer. Turun dari pesawatnya juga langsung menggunakan garbarata, tidak seperti di Soekarno-Hatta yang meski ada garbarata tapi seringnya turun lewat tangga belakang. Fasilitas di dalam gedung terminal pun tidak kalah menawan. Langit-langitnya tinggi dan arsitekturnya elegan. Tak heran, bandara Kualanamu sempat dinobatkan sebagai bandara terbaik di Indonesia.

20150625_173349
Burung besi hijau mendarat di Kuala Namu International Airport

Setelah mengantre pengambilan bagasi, agenda selanjutnya adalah bergegas ke pintu kedatangan. Sebulan sebelumnya saya sudah berkontak dengan Suryadi, seorang rekan sekelas pada masa SMA dulu. Setelah lulus, Suryadi yang adalah asli orang Medan memilih untuk pulang ke kota asalnya dan menetap di sana. Kebetulan sekali, supaya menghemat biaya dan sekalian reuni, maka saya pun meminta izin kepada Suryadi untuk menginap di rumahnya.

“Sur!” teriak saya saat melihatnya.

Kami pun berjabat tangan dan saya kemudian menepuk pundaknya.

Sedari dulu sampai sekarang, Suryadi tetap sama. Perawakannya gemuk dan besar, lalu logat bicaranya tetap tidak enak didengar. Suryadi berbicara dengan tiga dialek: Medan, Hokkien, dan Sunda. Bisa dibayangkan kan kalau tiga dialek ini bercampur? Tapi, ada satu yang berbeda darinya. Jika sewaktu SMA Sur berambut botak, sekarang sudah gondrong.

Saya bercerita sedikit kepada Suryadi tentang maksud perjalanan ke Sumatra ini dan juga tentang kehidupan perkuliahan saya di Jogjakarta kala itu. Sambil mengobrol, kami bergeser ke gerbang kedatangan Internasional untuk menanti Jo. Dari papan pengumuman, pesawat Jo sudah tertulis mendarat. Tapi, kami masih menantinya selama sekitar setengah jam sampai akhirnya seorang bule berjanggut tebal keluar sambil memboyong dua ransel besar.

“PAIJOO!!”, sahut saya seraya berlari ke arah Jo.

“Hei Ary! Nice to meet you again,” timpal Jo.

Kami pun melepas kangen dengan berpelukan sejenak. Senang sekali rasanya. Setelah dua tahun terpisah ribuan kilometer dengan Jo, sekarang kami bertemu kembali dan siap melakukan petualangan besar.

Medan, sebuah mimpi buruk

Hari itu, saya dan Jo belum menyusun rencana apa pun untuk 29 hari ke depan. Yang kami tahu adalah hari itu kami akan bermalam di rumah Suryadi, menyusun rencana, dan traveling dengan bahagia.

Tapi, angan-angan bahagia itu akan segera menguap tatkala kami tiba di persinggahan pertama.

Suryadi adalah seorang warga keturunan Tionghoa. Rumahnya berada di kawasan Pasar Petisah, Medan. Lantai satu rumahnya digunakan sebagai toko, sedangkan lantai dua dan tiganya sebagai rumah tinggal.

Firasat tidak enak mulai muncul saat kami hampir tiba di rumah Suryadi. Lingkungan di sekitar Pasar Petisah itu remang-remang, berhawa pengap, jalanannya becek, aromanya tidak sedap, dan banyak tikus plus kecoak berkeliaran di jalanannya. Sebagai orang yang jijik dengan kecoak, saya bergidik. Tapi, saya tepis pikiran jelek ini. “Rumah Suryadi mesti resik,” pikir saya.

“Tettt”, bel rumah Suryadi ditekan.

Seorang perempuan paruh baya, ibunya Suryadi keluar dan menyalami kami.

Saya mulai was-was dengan keresikan rumah Suryadi. Toko yang terletak di lantai 1 ini berisikan aneka jenis plastik. Dari yang ukuran kecil hingga raksasa. Semua plastik ini ditumpuk di dalam etalase kaca, juga ada yang ditumpuk di atas lantai membentuk gunungan plastik. Bentuk ruko ini persegi panjang. Tangga menuju lantai dua terletak di belakang, dan di dekat tangga tersebut terdapat tempat sembahyang. Suryadi dan keluarganya menganut Buddhisme.

Sebelum naik ke lantai dua melalui tangga, saya mencopot sepatu dan di sinilah saya menyadari bahwa firasat buruk itu benar-benar terjadi, pikiran positif yang saya bangun sedari di jalan tadi harus runtuh. Di dinding rumah terdapat kecoak yang berjalan pelan-pelan, merayap seperti cicak. Saya menelan ludah. Tak hanya satu kecoak, sepanjang saya memandang, kecoak itu ada di mana-mana. Dan, salah satu dari mereka terbang!

Dilema. Biasanya, saat saya melihat satu kecoak muncul di kamar kos, satu kaleng baygon segera saya ambil. Perang habis-habisan melawan kecoak. Tapi, jika kecoaknya berjumlah ratusanmungkin juga ribuan—apalah daya saya? Mungkin jika saat itu terdapat bom, akan saya segera bom supaya kecoak-kecoak itu musnah.

Tangan saya pun dingin. Saya menatap Jo.

“Should we cancel to stay here and looking for a hotel instead?” tanya saya pada Jo.

Jo menggeleng. Katanya saya harus bertahan dari kecoak-kecoak ini. Bagaimanapun Suryadi telah membuka pintu rumahnya dan mempersilakan saya dan Jo untuk bermalam di sini. Jadi, kami harus menghormati kebaikan hati Suryadi. Baiklah, saya belajar untuk menerima kenyataan ini meski keringat dingin mengucur dan saya gemetar, sungguhan gemetar.

Lantai dua rumah Suryadi, meski lebih bersih daripada lantai bawahnya, tetap saja dihinggapi banyak kecoak. Kami diberikan sebuah kamar kecil di pojok ruangan. Di langit-langitnya, sedang berjalan santai seekor kecoak hitam besar yang ada tutul-tutul putihnya. Jo menatap kecoak itu, kemudian menatap saya. Kami saling berpandangan. “Okay Ary, let’s face this!” kata Jo menguatkan saya.

Malam itu di rumah Suryadi, imaji akan perjalanan yang penuh tantangan pun menjadi kenyataan. Saya harus menantang diri untuk mengalahkan rasa takut terbesar, kecoak yang jumlahnya tidak satu, tapi ratussaaaannnn!

Kisah tentang kecoak ini saya tutup di sini. Menuliskan cerita ini membuat saya terbayang kembali bagaimana iyuuuhhhh-nya tinggal, berbagi ruang, bersama kecoak-kecoak yang sama sekali tidak menyenangkan itu.

26 Juni 2015

Pagi hari saya terbangun. Bukan karena alarm. Bukan pula karena Jo membangunkan. Seekor kecoak berwarna kemerahan berjalan-jalan di atas perut. Sedikit geli. Saat saya coba sentuh bagian yang geli itu, saya terkejut. Kok ada yang gerak-gerak ya? Saat tahu itu adalah kecoak, sontak saya teriak. Kecoak itu segera lari entah ke mana. Jo jadi terbangun dan rasa kantuk saya pun sirna seutuhnya.

Hari kedua di Medan pun sudah dibuka dengan insiden horor. Jujur, saya bahkan menangis. Mengerikan sekali ada seekor kecoak berjalan di atas perut. Hoeks.

Mendengar gaduh di kamar karena ulah kecoak, Suryadi pun menghampiri kami. Saya pun protes, kenapa dia tidak beritikad untuk membersihkan rumahnya dari kecoak. Tapi, katanya rumahnya ini memang ditakdirkan begini. Lokasi di tengah pasar, dan lantai satu yang dijadikan toko plus gudang mau tidak mau memang menjadi habitat kecoak. Jadi, satu-satunya cara adalah hidup berdampingan dengan mereka. Oke, jawaban ini bikin saya jadi menangis. 

Meski suram, pagi itu harus saya lalui dan saya harus segera memulihkan semangat. Jangan sampai 28 hari di depan menjadi kelabu.

15 pemikiran pada “Sumatra (1) | Petualangan Pertama di Tanah Sumatra

  1. Kalau mentalnya masih mental tempe ya jangan ke medan..kalau ke medan harus mental baja haha
    Mungkin pengalaman ke sumatera yg paling sulit km lupakan tapi jangan lupa dengan begitu mentalmu sudah ditempa disana selama 1 bulan Setidaknya begitu.
    Intinya mental sih kalau mentalmu udah baja apapun bentuknya pasti bisa dilewati.sesuai lagunya INI MEDAN BUNG!

  2. sedih dan miris bacanya, walaupun artikel ini 2 tahun yang lalu tapi memang Medan kenyataannya sangat tidak ramah untuk traveller dari luar kota/negeri, Apalagi abang sama bule pastilah semua mikir punya uang banyak, di Medan semua harus ditawar biar murah karna mereka ngasih harga tinggi sama pendatang (bahkan sesama orang Medan aja kadang ditipuin)

  3. Sebagai org Medan asli, miris sih bacanya haha tapi emang bener. Pemerintah perlu berbenah nih utk mempercantik Medan. Kota Medan sendiri sih lebih ke kota kuliner, Ri. Byk menu yg enak2 dan murah sebenernya. Sementara utk wisata, justru daerah2 penopangnya yang bagus, semisal Tapanuli yg ada Danau Toba dan Pulau Samosirnya, Berastagi dan Tanah Karo dgn Bukit Gundaling dan rumah2 adatnya, Sibolangit yg kaya puncak. Sayang sih ga ke situ haha.

    1. Hei, Ruth 😀

      Iya, waktu di Medan aku udah keburu kena mimpi buruk kecoak haha.

      Eits, ceritaku belum selesai. Medan baru etape pertama, masih ada puluhan lain yang aku kunjungin, termasuk Berastagi, Samosir, Tanah Karo. Aku 2 minggu di Samosir, di Tuk-tuk Siadong tepatnya 😀

      1. Waaah belum selesai toh? Hahaha oke dehhh ditunggu tulisan selanjutnya. Semoga rekomendasinya nda failed 😂

  4. Wow 30 hari? Keren kamu mas. Seloo tenan😀
    Baka menarik nih, kutunggu kelanjutannya.
    Seburuk2nya pengalaman di Medan ini, baka menjadi pengalaman dan pembelajaran yg tak terlupakan bukan? 😉

  5. Aku suka banget baca tulisan ini. Cara kamu bertutur asik 🙂 aku, kalo di posisi itu *kena palak preman* juga paling bengong dan pucat haha. Keras ya Sumatra, tapi sebetulnya tidak terlalu menyeramkan seperti yang banyak orang kira.

    Hayo, kapan ke Palembang? kontak aku ya 🙂

    1. Hai, mas. Makasih ya sudah mampir 😀
      Hehehe, waktu itu aku cuma bisa memelas. Soalnya preman itu jelas tahu kalau aku bukan oran Medan.

      Belum tahu nih kapan ke Palembang lagi. Tapi, pengen ke sana lagi buat makan pempek 😀

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s