Gunung Salak: Perjalanan yang Tak Sampai

Kami terjebak hujan di tengah belantara Salak, hanya berdua. Seraya menuruni trek terjal berbatu, terbersit di ingatan kami tentang cerita-cerita mistis yang konon katanya menyelubungi gunung ini. Kami harus tetap fokus karena tepat di sebelah kanan kami ada jurang yang dalam, sedangkan di kiri tersaji tebing-tebing cadas. Kesalahan sedikit saja bisa membuat kami tamat hari itu.

Mulanya, tidak ada niatan sama sekali untuk pergi mengunjungi gunung Salak. Mendengar namanya saja langsung mengingatkanku akan kisah kecelakaan pesawat Sukhoi lima tahun silam. Pesawat nahas itu sejatinya sedang melakukan joy-flight yang diikuti oleh berbagai awak media dan calon konsumen. Setelah bertolak dari pangkalan udara Halim di Jakarta, pesawat itu tidak pernah kembali selamanya.

Beberapa jam setelah dinyatakan hilang, tim penyelamat segera disebar. Muncul berbagai spekulasi di media tentang apa yang sesungguhnya terjadi dengan pesawat itu. Ada yang mengatakan pesawat mungkin jatuh di sekitaran laut selatan, atau bisa juga hilang karena menabrak gunung.

Waktu itu aku sedang berada di Cianjur, tepatnya di sebuah toko buku yang kebetulan ada koran yang tersaji di etalasenya. “Ini mah nabrak gunung Salak da!” celetuk seorang bapak. Kemudian kisah-kisah mistis tentang betapa angkernya gunung Salak pun merebak. Setelah dilakukan pencarian yang begitu intensif, akhirnya pesawat nahas itu ditemukan hancur lebur setelah menghujam lereng gunung Salak.

Kisah kecelakaan pesawat Sukhoi itu menambah lagi daftar cerita tentang horornya gunung Salak, belum lagi jika dikolaborasikan dengan cerita-cerita lain tentang pendaki yang hilang, tewas, ataupun pengunjung air terjun yang tenggelam meregang nyawa. Misteri-misteri tentang gunung Salak itu membuatku penasaran. Memangnya apa sih yang membuat arga Salak ini begitu misterius, padahal kan dia hanya berjarak kurang dari 200 kilometer dari Ibukota?

Perjalanan pertama ke lereng Salak

Minggu pagi, 7 Mei 2017. Seusai menunaikan ibadah Minggu pagi di Katedral Bogor, kami berdiri di pinggiran jalan menanti sewaan sepeda motor yang tak kunjung datang. Jam sudah menunjukkan pukul 09:30, tapi sepeda motor sewaan yang katanya akan diantar pukul 09:00 belum juga tiba. Sekalipun waktu itu hari Minggu, tapi bukan berarti jalanan Bogor menjadi sepi. Angkot-angkot warna biru dan hijau memenuhi ruas jalan raya di depan stasiun. Mereka berhenti nyaris ke tengah jalan, sopir-sopirnya berteriak memekik, sementara pengguna jalan lain yang emosi membunyikan klakson. Tak heran jika di masa sekarang ini, julukan Bogor sebagai “Kota Hujan” telah berganti menjadi “Kota Sejuta Angkot.”

Dari kerumunan angkot, datanglah seorang dengan sepeda motor bebek matic menghampiri kami. Akhirnya motor sewaan kami pun datang juga. Motor ini tidak dalam kondisi prima. Lampu depannya tidak berfungsi sama sekali, pun lampu sein-nya, klakson mati, dan rem yang cukup meragukan. Tapi, apa boleh buat, karena waktu sudah semakin siang kami harus segera berangkat menuju kawasan gunung Salak sebelum terjebak hujan. Perjalanan pagi itu diwarnai dengan perasaan was-was, entah motor ini akan kuat menanjak atau tidak.

Kami bertolak dari kawasan Stasiun Bogor menuju kecamatan Pamijahan yang merupakan gerbang masuk kawasan Taman Nasional Gunung Salak. Lupakan sejenak perjalanan yang nyaman karena sepanjang jalan dari kota menuju Pamijahan, kami selalu bertemu dengan angkot. Sangat menjengkelkan apabila berkendara di belakang angkot-angkot ini karena hanya sopir dan Tuhan saja yang tahu kapan si angkot ini akan berhenti dan berbelok.

Selepas kota Bogor, kemacetan mulai berkurang. Jalanan yang semula lebar perlahan jadi semakin sempit, namun tetap dengan angkot yang lalu-lalang. Biasanya, ketika dulu berada di Jawa Tengah, perjalanan ke daerah gunung ini selalu mengasyikkan karena jalanan yang sepi dan pemandangan yang indah. Tapi, setelah dua jam berkendara selepas dari Bogor, di kanan-kiri jalan hanya ada deretan rumah-rumah kumuh. Jarang sekali kami melihat sawah atau pepohonan hijau yang membentang. Sesekali motor kami harus terguncang hebat karena ada banyak polisi tidur yang dipasang sembarangan oleh warga.

DSC_0522
Gapura selamat datang di kecamatan Pamijahan. Butuh waktu dua jam lebih untuk tiba di kecamatan ini.

 

Waktu itu kami berpedoman pada GPS yang ada di ponsel, sehingga tatkala kami tiba di sebuah pertigaan yang bertuliskan nama-nama aneka curug, kami mengabaikannya. Kami lebih memilih jalanan yang ditunjukkan oleh GPS. Belakangan kami tahu bahwa apabila kami mengikuti papan penunjuk arah di pertigaan itu, perjalanan akan lebih singkat. Akan tetapi, karena kami lebih percaya pada teknologi, maka kami dibawa pada jalan yang lebih panjang dan memutar, yaitu melewati daerah Pamijahan, bukan Gunung Bunder.

Pilihan kami bergantung pada teknologi untuk pergi ke alam sepertinya tidak selalu jadi pilihan terbaik. GPS membawa kami pada arah yang sesat. Kami diarahkan ke luar dari jalan utama menuju jalan perkampungan yang tak beraspal. Memang pemandangan di sana bagus, tapi kami jadi semakin panik. Ketika bertemu dengan seorang warga, dia mengatakan bahwa jalan yang kami ambil itu salah, dan kami harus memutar kembali.

DSC_0523
Sungai yang kami temui di kecamatan Pamijahan

Kami pun mematikan ponsel, dan beralih menggunakan GPS konvensional, yaitu “Gunakan Penduduk Setempat”. GPS jenis kedua ini terbukti lebih ampuh, setelah bertanya ke tiga orang, kami pun tiba di depan gerbang masuk Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, Kisah perjalanan kami tidak berhenti sampai di sini.

Menuju belantara salak

Hujan mulai turun, semula hanya gerimis kecil, lama-kelamaan menjadi lebat. Jam sudah menunjukkan pukul 12:00. Sebuah pilihan dilematis bagi kami, antara harus menunggu hujan reda (tapi tidak jelas juga kapan reda) atau melanjutkan perjalanan dengan resiko basah kedinginan. Kami memilih opsi kedua karena tidak ingin terlambat tiba di lokasi Curug Seribu.

Sebelum berangkat, kami sempat menghimpun informasi tentang lokasi curug yang menjadi tujuan kami. Dari media-media daring disebutkan kalau lokasi air terjun ini sangat indah, tapi jalur turunnya pun cukup menantang. Beberapa situs bukannya bercerita soal bagaimana akses menuju ke lokasi, malah bercerita tentang peristiwa-peristiwa kecelakaan dan mistis yang kerap merenunggut nyawa pengunjung.

IMG_3556
Trek awal di jalur menuju Curug Seribu

Kami tidak mempedulikan uraian-uraian menyeramkan yang ditulis di Internet dan memilih untuk melanjutkan saja perjalanan. Setibanya di pos masuk, kami membayar Rp 20.000,- per orang sebagai retribusi menuju kawasan Curug Seribu. Di sana, nama kami dicatat terlebih dulu oleh petugas dan diberi arahan untuk segera naik kembali sebelum pukul 15:00. Perjalanan ke curug dalam waktu normal memakan waktu 1-2 jam, demikian kata si petugas. Tapi, hari itu hujan turun sepanjang hari, mungkin perjalanan akan lebih lama.

Sekalipun ditemani rintik hujan, berjalan di tengah belantara lereng Salak sungguh indah dan menenangkan. Halimun-halimun tipis merambat turun menyapa pepohonan, tapi jangan sampai terlena oleh keindahan itu karena trek berbatu menuntut setiap pejalan harus waspada, terpeleset sedikit saja bisa terjun bebas ke dalam jurang dan tamat.

wowowo
Trek terjal menuju Curug Seribu
IMG_3559
Di beberapa titik, trek dilengkapi dengan tangga kayu seadanya. Cukup licin apabila sedang turun hujan

Hari itu cukup banyak pengunjung yang rela menembus hujan untuk bisa sampai di Curug Seribu. Kami bertemu dengan beberapa rombongan orang dari bawah. Mereka sudah basah kuyup, bahkan ada beberapa yang bersin-bersin dan menggigil kedinginan. “Lanjut gak nih?” tanyaku kepada temanku. “Lanjut lah, udah bayar,” jawabnya supaya kami tidak rugi.

Tapi, alam sepertinya berkata lain. Hujan tak juga kunjung berhenti. Saat kami tiba di sebuah pondokan untuk menepi, temanku terpeleset dan jatuh. Bokong hingga punggungnya dipenuhi dengan lumpur. Aku bingung, apakah harus tertawa atau tidak, karena temanku itu jatuh bukan di trek berbatu, melainkan di dalam pondokan yang penuh lumpur. Orang-orang lain yang sedang berteduh pun menyaksikan peristiwa jatuh yang konyol itu.

Lima belas menit menanti, kami memutuskan untuk coba melanjutkan perjalanan ke bawah. Kondisi trek semakin curam, tapi kami mendengar suara gemuruh air terdengar kian jelas. Seorang pengunjung yang hendak kembali ke atas memperingatkan kami untuk tidak melanjutkan perjalanan ke bawah. “Mas, sudah gak bisa lagi turun, udah banjir di bawah. Kalau mau turun pun gak keburu dan bahaya,” tuturnya. Tapi, kami masih tidak percaya dan merasa rugi kalau tidak turun sampai lokasi.

Kemudian aku melihat jam, yang ternyata sudah menunjuk di jarum 14:00. PIlihan dilematis, jika dilanjutkan, maka perjalanan ini akan berbahaya, lagipula, lampu motor kami mati, jadi sebisa mungkin kami harus tiba di Bogor sebelum langit benar-benar gelap. Akhirnya kami memutuskan untuk menyudahi perjalanan ke Curug Seribu dan bergegas kembali ke atas.

Rasanya ingin protes kepada sang Pencipta, kok tega menurukan hujan sepanjang hari? Tapi, kembali aku berpikir, siapakah aku ini yang begitu kerdil, sampai bisa-bisanya sok mengatur Pencipta yang Maha Agung itu. Toh, hujan lebat yang terjadi sepanjang hari itu tentu memberi berkah bagi alam. Pepohonan hijau tentu bersorak ria karena tetesan air, tanah-tanah riang gembira, dan bumi pun dikenyangkan dengan cadangan air tawar yang berlimpah ruah. 

Setelah tiba kembali di pos masuk, kami mengobati rasa kecewa kami dengan memesan dua mangkuk mie rebus, plus segelas teh dan jahe. Hari itu, kami memang gagal dan tak sampai ke tujuan, tapi kami belajar bahwa gunung Salak memiliki ketetapannya sendiri. Tak apalah jika perjalanan kami hanya setengah jalan, toh semangkuk mie panas yang dimakan di tengah udara dingin terasa begitu nikmat.

DSC_0542
Dua mangkuk mie rebus dan dua gelas teh panas sebagai obat penawar kecewa

Seusai bersantap, kantuk pun menyerang. Tapi kami ingat kalau kami harus segera tiba sebelum langit gulita. Pukul 15:30 kami bertolak pulang menuju Stasiun Bogor. Setelah satu jam berkendara, temanku melakukan kesalahan konyol. Dia baru sadar kalau kepalanya tidak memakai helm, padahal helm itu adalah helm sewaan. Kembali kami dihadapkan pada pilihan dilematis. Kembali ke Gunung Salak untuk mengambil helm, atau bayar ganti rugi. Pilihan kami jatuh di pilihan kedua karena waktu tidak memungkinkan untuk kembali ke Gunung Salak.

Tiga jam kembali dilalui di atas sepeda motor hingga kami tiba dengan selamat dan basah kuyup di Stasiun Bogor. Sambil berbasah-basah, kami memasuki KRL dan bersiap menghadapi kenyataan, hari Senin tinggal beberapa jam lagi!

DSC_0539
Tetap ceria walau tidak sampai tujuan

 

8 pemikiran pada “Gunung Salak: Perjalanan yang Tak Sampai

  1. wah sayang, pdhal curug seribu itu bagus
    itu curug yg debit airnya paling deras di seputaran gn salak
    mau mendekatpun tidak bisa krn berbahaya
    airnya keruh krn ada kandungan belerang..

    next time dicoba lagi mas..

  2. Lhoh kirain naik gunungnya 😁
    Tapi bener ya kalo berkunjung ke air terjun itu butuh perjuangan. Rata2 emag harus jala kaki lumayan jauh, jrang ada yg dket dari parkiran 😁
    Ini mirip2 curug cibereum di cibodas ya mas.

    1. Kalau naik gunungnya, waktunya yang nggak nyandak nih mas. Soale udah jadi orang kerja wkwkwk.

      Kemarin berangkatnya terlambat sih, jadi gagal sampai ke tujuan utama.

      Iya, kayak curug Cibereum di Cibodas.

      —-
      Curug di sini kadang gak kayak di Tawangmangu, tinggal jalan mlipir tangga tau-tau sampe hehehe

      1. Di lereng gunung ungaran sini ada yg harus jalan kaki satu jam mas. Jad gak cocok buat wisata krluarga. Apalagi bawa orang tua atopun anak kecil. Toh treknya jg ga bs dibilang mudah. Tp bagi anak muda justru disini tantanganya hehe

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s