Tak lengkap rasanya jika bicara tentang Jogja tanpa menyebut angkringan di dalamnya. Ibarat sayuran tanpa garam, Jogja tanpa angkringan adalah kota yang hambar, kurang nikmat untuk dikenang. Dari gerobak angkringanlah kita dapat menyaksikan dan mengalami sendiri apa yang disebut oleh banyak orang tentang kesederhanaan dan kebersahajaan Jogja yang memikat.
Nampaknya malam yang telah larut tidak cukup kuat untuk membuat seorang bapak tua mengantuk. Pukul 00:30 beliau telah selesai menata gerobak angkringannya yang terletak persis di pinggir sungai Winongo. Cahaya bohlam kuning menyinari gerobak dengan temaram, sementara itu tembang jawa mengalun merdu dari radio tua yang turut dibawa serta oleh sang bapak. Mungkin bagi sebagian orang, alunan tembang Jawa itu berbau mistis, tapi bagi sebagian orang lain sepertiku, tembang jawa itu menjadikan romansa Jogja semakin terasa.
Malam itu begitu sunyi, hanya ada satu atau dua kendaraan saja yang sesekali melintas di depan angkringan bapak. Tatkala kami menepikan kendaraan di pinggiran trotoar, senyum sumringah segera tersungging di wajah sang bapak tua. “Monggo mas pinarak,” ucapnya dalam bahasa Jawa krama. Suaranya serak tapi tegas, tak tampak ada nada lelah dari ucapannya, padahal sebelumnya beliau baru saja mendorong gerobak seorang diri.

Aku menghela nafas, melepaskan jaket, dan dengan segera tanganku membuka karet-karet yang membungkus nasi kucing. “Pak, kula nyuwun teh panas setunggal nggih,” pintaku itu segera dijawab dengan “Nggih mas.” Hari itu aku tidak datang sendirian ke angkringan bapak, melainkan bersama seorang teman yang juga saat itu sedang mengalami insomnia. Daripada kami hanya berguling-guling di kasur tanpa mampu tertidur, lebih baik mencari tempat nyaman untuk mengobrol dan bertukar pikiran.

Entah sudah berapa kali aku melewatkan malam di angkringan ini, angkringan yang paling spesial menurutku. Karena pemilik sekaligus penjual angkringan ini adalah seorang bapak tua, maka aku memanggilnya dengan sebutan “Angkringan Bapak.” Aku pernah bertanya siapa nama asli si bapak, tapi di usia 23 ini ternyata ingatanku sudah payah, aku lupa sama sekali nama si bapak. Kali pertama aku mengunjungi angkringan ini adalah tahun 2010. Waktu itu aku masih bocah SMA yang dengan segera terpikat kesederhanaan Jogja dari gerobak angkringan bapak.
Jika ditanya oleh teman-teman angkringan mana yang paling nikmat, dengan segera aku akan menjawab “Angkringan Bapak”. Tapi, tidak banyak dari mereka yang akhirnya mau berkunjung ke angkringan bapak karena jam bukanya yang terlalu larut. Setiap hari, menjelang tengah malam sang bapak keluar dari rumahnya sambil mendorong gerobak angkringan. Dia menyiapakan semuanya sendiri. Memasak gorengan, menyalakan arang, memasang instalasi listrik, sampai memperbaiki radio usangnya pun sendiri. Kita baru bisa menikmati angkringan ini di atas jam 00:00, terlalu larut bagi mereka yang tidurnya cepat.
Setiap kali ada pengunjung yang mampir di angkringannya, bapak selalu menyambutnya dengan akrab. Dia tidak hanya menyajikan aneka makanan dan wedangan, tapi juga selalu mengajak pengunjungnya tertawa. Hari itu kami tertawa terbahak-bahak tatkala sang bapak mengejek kami berdua jomblo. “Rugi loh mas, kuliah lama-lama di Jogja tapi gak dapet gandengan!” Kemudian gelak tawa pun pecah, sesekali diiringin umpatan-umpatan dalam bahasa Jawa.

Selain humoris, bapak juga terkadang religius. Jika pembicaraan mulai menjadi melow, sesekali beliau menceritakan pengalaman hidupnya kemudian kata-kata “Alhamdullilah” atau “Puji Tuhan” terlontar dari ucapannya. Kadang ada penasaran ingin menanyakan apa agama si bapak dari kata-kata yang dia ucapkan itu, tapi aku sadar itu pertanyaan yang tidak penting karena untuk menjadi akrab kita tidak perlu melihat apa yang jadi agama orang itu.

“Pak, gak takut po pak sendirian tiap malam di sini?” tanyaku. “Memangnya kenapa kalau sendiri? Paling-paling kunthinak toh mas yang datang!” Jawab si bapak diiringi gelak tawa. Usia bapak tak lagi muda, namun raganya masih belum lelah berpeluh. Gerobak yang cukup besar ini dia dorong seorang diri, juga segala persiapan dia lakukan dengan tangannya sendiri. Tatkala tangan kanannya memegang ceret panas, tangan kirinya sibuk mengaduk gula-gula dalam gelas supaya terlarut. Konsentrasinya masih terjaga penuh. Dia dengan cepat menghitung total seluruh makanan dan wedangan yang kami minum, tanpa meleset.

Angkringan bapak memang tidak setenar angkringan-angkringan yang berada di pinggiran Malioboro, tapi menurutku, di angkringan bapaklah kita bisa menemukan nuansa Jogja yang sesungguhnya. Dalam tengah malam nan teduh, kita bisa bersantap kudapan ringan, ditemani teh panas dan lantunan tembang Jawa.
Tidak terasa tiga jam sudah kami habiskan duduk bersantai di angkringan bapak. Jam sudah menunjukkan pukul 03:00 dini hari, padahal dalam beberapa jam kami sudah harus duduk di kampus untuk kuliah! Selesai membayar, kami menyalami bapak lalu pamit pulang ke kost masing-masing.
Semenjak kepindahanku ke Jakarta, memori akan angkringan bapak masih membekas dalam setiap ingatanku. Tak ada tempat senikmat dan senyaman angkringan bapak. Gorengan dan wedangan yang disajikannya mengajarkanku bahwa kenikmatan hidup bisa ditemukan dalam gorengan seharga 500 rupiah. Ah, pak, andai Jakarta – Jogja bisa kutempuh dengan menggunakan pintu Doraemon, sudah tentu setiap malam aku akan duduk di gerobakmu.
Salam rindu untuk Yogyakarta,
Jakarta Barat – 4 Mei 2017