Lima seri buku tentang Gajah Mada sudah tuntas kubaca, tapi bukan puas yang kudapat, malah sebuah rasa penasaran. “Sebesar apa sih Majapahit itu?” gumamku. Jika aku ingat-ingat kembali pelajaran sejarah dulu, Majapahit selalu disebutkan sebagai kerajaan Hindu termashyur, tak hanya di Jawa bahkan katanya terkenal hingga di Asia. Majapahit jugalah yang kelak menjadi cikal-bakal dari berdirinya Nusantara modern yang kini kita kenal dengan nama Indonesia.
Kisah Majapahit ini begitu menarik buatku, ia tidak hanya berkisah tentang politik suatu kerajaan, tapi juga tentang kecanggihan teknologi, kegagahan pasukan, keagungan raja, hingga kisah asmara yang berujung pada tragedi berdarah. Kisah cinta antara Hayam Wuruk dengan seorang putri Sunda yang berujung pada pesta perkawinan ternyata harus diakhiri dengan meletusnya perang Bubat. Gajah Mada dituding sebagai penyebab terjadinya perang yang merusakkan hubungan antara Majapahit dan Sunda hingga akhirnya ia pun diasingkan. Kerajaan sempat kewalahan, jadi tak lama setelahnya Gajah Mada kembali dipanggil untuk menjabat sebagai Mahapatih.
Selain Gajah Mada, nama kitab Negarakertagama, Sutasoma, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, itu pun berasal dari Majapahit. Warisan non-fisik dari Majapahit itu masih tetap lestari setidaknya sampai saat ini. Tapi, aku kemudian bertanya-tanya, jika warisan non-fisiknya masih lestari, bagaimana dengan warisan fisik dari Majapahit itu sendiri? Apakah ia sudah sepenuhnya sirna dan dilupakan? Atau, masihkah ia berdiri tegak dan menjadi saksi bisu dari perjalanan bangsa ini?
Pertanyaan itulah yang membawaku pergi menjelajah 300 kilometer jauhnya ke arah timur.
Ekspedisi menuju Trowulan
Malam itu aku menanti bus patas di pinggiran Jalan Solo yang akan membawaku ke Surabaya. Tak sulit untuk bepergian dari Jogja ke Surabaya karena bus selalu tersedia 24 jam non-stop. Sebenarnya ada beberapa pilihan bus yang bisa dinaiki, namun rute Surabaya-Jogja adalah salah satu rute terganas di Jawa. Pasalnya, apapun perusahaan otobisnya, ugal-ugalan adalah tradisi tiada henti yang terus lestari sekalipun deretan peristiwa kecelakaan sering muncul di surat kabar.
Lima belas menit menanti, bus yang kutunggu akhirnya tiba. Bus patas EKA seharga Rp 100.000,- plus makan malam gratis menjadi tungganganku selama tujuh jam ke depan. Sepanjang jalan Jogja hingga Solo bus melaju santai. Tak ada adegan balapan ala Fast and Furious di sini, semua terasa begitu damai. Tapi, kedamaian ini tidak abadi. Selepas melewati Solo, jalan yang semula dua lajur berubah menjadi satu dan di sinilah adegan balapan dimulai.
Pendingin udara sengaja diturunkan suhunya sehingga beberapa penumpang akhirnya terlelap dalam tidur. Kesempatan ini segera digunakan sang sopir untuk memulai atraksinya. Dia melibas setiap kendaraan di depannya. Tak peduli jalanan kosong atau tidak, yang penting gas tetap ditancap. Aku merasa seperti sedang dalam perlombaan menuju surga. Bus bergetar hebat ketika gagal menyalip dan terperosok ke bahu jalan. Sebagian penumpang yang masih terjaga mengeratkan pegangannya kepada besi di samping kaca.
Drama mengerikan itu akhirnya berakhir ketika pukul 04:00 bus memasuki area terminal Bungurasih, Sidoarjo. Tujuanku sebenarnya adalah ke Trowulan, tapi karena ada beberapa teman yang ingin ikut denganku maka aku turun di Sidoarjo, lalu melanjutkan ke Surabaya terlebih dahulu sebelum kembali bertolak ke Trowulan.
Pukul 08:00 ketika rombongan siap, kami berkendara melewati jalan utama menuju Trowulan. Cukup was-was mengendarai motor di jalan utama Surabaya-Mojokerto ini, pasalnya bus-bus berukuran besar itu tidak peduli dengan kehadiran motor. Jika mereka merasa sudah waktunya untuk tancap gas, motor hanyalah butiran debu di mata mereka, bahkan sehari setelah perjalanan itu aku membaca koran lokal yang menyebutkan baru saja terjadi tabrakan bus dan motor di situ.
Trowulan yang merana
Trowulan secara administratif terletak di jalan raya Jombang – Surabaya tepatnya di kabupaten Mojokerto. Posisinya strategis, tepat di jalan utama. Tapi, Trowulan tidaklah setenar Borobudur yang digandrungi ribuan turis setiap harinya. Ketika tiba di sana, Trowulan hanyalah sebuah desa yang cukup gersang dengan banyak pabrik batu bata di tiap sudutnya.
Jalanan berlubang mengiringi perjalan kami menjelajah situs-situs peninggalan Majapahit. Situs pertama yang kami kunjungi adalah Candi Tikus, tapi kondisinya cukup memprihatinkan. Pemerintah berusaha memugarnya menjadi lebih baik dengan melakukan renovasi di beberapa sudut candi. Tak banyak informasi yang kudapatkan di Candi Tikus, jadi perjalanan kembali dilanjutkan.

Sepanjang jalan mengitari Trowulan, tak tampak ada semangat turisme yang dihidupkan di sini. Bubungan asap hitam pekat dari pabrik batu bata mewarnai perjalanan kami mengitari Trowulan. Tak tampak penunjuk arah yang jelas hingga kami harus berhenti beberapa kali untuk bertanya kepada warga mengenai situs-situs peninggalan Majapahit.
Sisa-sisa warisan fisik Majapahit yang masih berdiri megah adalah gapura Bajang Ratu. Gapura ini dibuat dari batu bata merah yang dibangun tinggi menjulang. Konon katanya, dulu, fungsi dari gapura ini adalah sebagai gerbang masuk ke area kotaraja, atau wilayah utama keraton Majapahit. Tapi, tidak disebutkan jelas mengenai kapan persisnya gapura ini dibangun.
Berdasarkan catatan resmi dari Dinas Purbakala, gapura Bajang Ratu pernah mengalami pemugaran oleh pemerintah kolonial Belanda, namun tidak ditemukan catatan yang pasti mengenai kapan dan berapa kali pemugaran itu dilakukan.

Jika melihat gapura Bajang Ratu, para penikmat sejarah maupun leluhur Majapahit mungkin bisa bernafas sedikit lega karena bangunan ini masih cukup terawat. Di tengah teriknya siang itu, pohon trembesi di pelataran gapura memberi keteduhan bagi turis-turis lokal yang enggan berfoto karena panas. Aku membaur dengan turis-turis itu, dan seraya meneduhkan diri di bawah pohon trembesi itu, pikiranku mencoba berkelana ke lima ratus tahun silam ketika Majapahit tengah berdaya. Pikiranku berimajinasi seperti apakah kutaraja Majapahit kala itu. Bagaimana penampakan wanita-wanita pada masa itu, apakah mereka jelita bak negeri dongeng, bagaimana sistem sosial waktu itu, tapi pertanyaanku itu tidak memiliki jawaban apapun selain daripada bangunan bata merah di depan mataku yang menjadi saksi bisu.
Media-media nasional pernah melakukan liputan tentang situs-situs di Trowulan dan salah satu isi liputannya adalah keresahan dari menjamurnya pabrik batu bata yang dapat mengancam keberadaan situs-situs lainnya. Beberapa situs-situs yang tidak berbentuk bahkan digerogoti oleh warga dengan cara mencabut batu-batu bata di situs itu kemudian menjualnya.
Terancamnya situs Majapahit itu sebenarnya bukan semata-mata ulah warga sendiri, tapi pemerintah juga kurang sigap memberikan sosialisasi kepada masyarakat lokal tentang berharganya warisan itu. Atau, bisa jadi kita jugalah yang turut andil dalam rusak dan hilangnya situs-situs sejarah itu karena kita tidak mau peduli dengan sejarah bangsa ini.
Kembali aku mengingat kisah-kisah tentang keagungan Majapahit di masa lampau. Tapi, ingatanku itu perlahan ambyar ketika mataku memandang realita. Keraton nan megah itu telah sirna, tak berjejak. Satu-satunya jejak kebesaran dan keluasan keraton itu adalah kolam Segaran yang berarti samudera buatan. Kolam itu adalah kolam raksasa yang dibuat oleh pemerintah kerajaan waktu itu. Hinga kini kolam Segaran masih bisa dinikmati. Walau airnya keruh, tapi warga sekitar gemar duduk berlama-lama di tepiannya. Ada yang berpacaran, tapi tak sedikit pula yang menanti pancingannya digigit oleh ikan.
Menutup perjalanan hari itu, aku teringat sebuah perkataan yang mengatakan, “bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya.” Tapi, setelah melihat Trowulan, aku menjadi skeptis. Apakah kita adalah bangsa yang besar itu, atau sebaliknya? Atau, justru pemikirankulah yang salah?
Ah, sudahlah, lupakan. Seiring hujan yang tumpah ke bumi, saat itu jugalah aku meninggalkan bumi Trowulan dengan imaji akan kemashyuran dari Majapahit.
Mojokerto, 29 April 2015
Ditulis kembali menjadi kepingan kisah di Jakarta, 28 April 2017
