Ada yang berbeda dari angkringan Mas Bimo, tak tampak ada satupun gorengan yang tersaji di atas gerobaknya. Selidik demi selidik, ternyata Mas Bimo, ingin menciptakan konsep yang baru tentang angkringan, yaitu bukan hanya gerobak berisi kudapan pengenyang perut, tapi juga mengedukasi dan menyehatkan setiap pembelinya. Tapi, walaupun demikian, tetap ada nasi kucing aneka varian yang tersaji di gerobak ini.
Mas Bimo adalah orang Jogja yang merantau ke Bandung. Beberapa bulan lalu, terbersit di benaknya untuk mengubah rasa kangen kepada Jogja menjadi suatu bisnis yang bisa menghasilkan pundi-pundi. Setelah dipikir-pikir, tercetuslah ide mendirikan angkringan, apalagi di kota Bandung sendiri jumlah angkringan belum terlalu banyak.
Bermodalkan sebuah pekarangan kecil di depan terminal Elang, Mas Bimo membeli gerobak angkringan yang didatangkan langsung dari Klaten, Jawa Tengah. Lalu, dia menata gerobak itu layaknya angkringan yang lumrah ditemui di Jogja. Namun, berhubung masih baru, ketel dan perabot masak lainnya masih mengkilap, belum menghitam sebagaimana layaknya angkringan-angkringan di Jogja.



“Saya pengen setiap orang yang makan di sini, seolah berada di Jogja,” tutur Mas Bimo. Dia ingin menghadirkan nuansa Jogja yang nyaman di kota Bandung. Sekalipun secara kultur ada perbedaan antara Jawa dan Sunda, tapi udara Bandung yang sejuk memang jadi nilai lebih untuk mengundang orang duduk-duduk dan menikmati sajian hangat.
Malam itu adalah kali pertama aku mengunjungi angkringan di kota Bandung. Minggu siang sehabis ibadah, pendeta di gerejaku memberi info kalau ada angkringan baru yang ‘Jogja banget’. Berhasil dibuat penasaran olehnya, akhirnya pukul 19:30 kami beranjak ke angkringan itu.

Karena konsep yang diusung oleh Mas Bimo adalah angkringan sehat, maka menu andalan yang dijual di sini adalah aneka wedangan. Ada wedang jahe, wedang uwuh, wedang secang, bir jawa, dan wedangan teh kimpul.
Wedang uwuh, si ‘sampah’ yang nikmat diteguk
Selama di Jogja dulu, salah satu minuman yang paling kusukai adalah wedang uwuh. ‘Uwuh’ berarti sampah. Tapi, tenang saja karena bukan sampah sungguhan yang dijadikan bahan pembuatan wedang uwuh. Jika dilihat secara sekilas, aneka dedaunan dan rempah yang telah direbus itu menyerupai sampah, sehingga disebutlah wedang uwuh.

Wedang uwuh sendiri dibuat dari jahe yang digeprek, lalu direbus. Kemudian dicampurkan dengan cengkeh, daun kayu manis, daun sereh, pala, gula batu, dan serutan kayu secang yang membuat warna wedang menjadi merah. Dari komposisinya saja kita bisa tahu kalau minuman herbal ini sudah dipastikan sehat bagi badan dan tidak diragukan lagi.
Untuk menghidupkan lagi nostalgi tentang Jogja, segelas wedang uwuh yang dibandrol seharga Rp 8.000,- kupesan. Setelah kuseruput pelan-pelan, tiap tegukan wedang uwuh ini benar-benar “Jogja banget!” dan seketika kenangan-kenangan lawas singgah dan bersemayam dalam pikiran. Malam itu, di tengah dinginnya udara Bandung, kehatangan Jogja kembali datang mendekap.
Terima kasih angkringan Mas Bimo karena sudah menghadirkan Jogja kecil di tengah kota Bandung.
Alamat lengkap di kota Bandung, dmna y