Memburu Halimun Pagi Tanah Priangan

Bagi seorang pekerja kantoran, tanggal merah di hari Senin adalah suatu sukacita yang amat besar. Akhir pekan yang lebih panjang satu hari itu adalah momen yang amat berharga untuk dilewatkan begitu saja. Alih-alih melewatkan hari libur dengan tidur lebih lama, aku memilih untuk bangun lebih awal dan memburu halimun pagi yang tentu saja mustahil untuk ditemukan di tengah padatnya Jakarta.

“Tat, besok pagi lu pergi ke mana eh?” tanyaku di hari Minggu malam. “Gak kemana-mana, mau pergi ke mana emang?” sahut temanku itu. “Pergi yuk, motret gitu ke mana,” jawabku. Saat itu pukul 22:30, bermula dari pembicaraan singkat di atas sepeda motor, lima jam kemudian kami kembali berada di jalanan untuk memburu kabut pagi di pegunungan Bandung selatan.

uo
Blogger and Vlogger

Tidak terlalu sulit untuk mengajak temanku itu untuk pergi. Tugas akhirnya yang belum selesai bukan jadi alasan dia untuk menolak ajakanku, pasalnya, karena hobby temanku itu adalah memotret dan membuat vlog maka ajakan jalan-jalan ini cukup menarik buatnya. Tanpa banyak persiapan, pukul 03:30 kami bertemu kembali dan memacu sepeda motor membelah jalanan kota Bandung yang masih amat sepi. Tujuan kami pagi itu adalah kawasan Ciwidey, Bandung Selatan yang berjarak sekitar 45 kilometer dari pusat kota.

Melibas jalanan yang sepi, kami memacu sepeda motor pada kecepatan konstan di sekitar 80 kilometer per jam dengan harapan bisa tiba di lokasi tepat sebelum matahari terbit. Sekalipun kondisi lalu lintas mendukung, mengendarai motor dengan kecepatan setinggi itu tetap riskan karena banyak sekali lubang-lubang menganga yang tidak terlihat di jalanan. Beberapa kali sepeda motor kami harus melibas lubang-lubang itu, untung saja tidak ada insiden apapun yang terjadi.

Perjalanan subuh-subuh ke Ciwidey mengingatkanku akan masa-masa sekolah lima tahun silam. Waktu itu pelajaran olahraga diselenggarakan setiap hari Jumat pukul 05:30, jadi, paling lambat pukul 04:45 aku sudah harus mengayuh sepeda supaya tidak terlambat tiba di sekolah. Namun, udara Bandung yang dingin selalu menjadi godaan terbesar untuk menggowes sepeda pagi-pagi, alih-alih bersemangat, aku malah mengulur waktu untuk tidak beranjak dari balik selimut. Akibatnya, tak jarang aku pun terlambat datang ke sekolah.

Tahun-tahun yang berlalu membuat Bandung kian padat,nampaknya itu jugalah yang membuat udara Bandung tidak sedingin dulu, setidaknya itu yang kurasakan. Sepanjang jalan hingga memasuki daerah Soreang, udara terasa tidak terlalu dingin hingga kami mulai melalui jalanan yang menanjak. Lambat laun suhu udara menurun. Tepat di hutan masuk area Cimanggu, udara dingin terasa begitu menusuk dan membuat buku-buku jari kami yang tak ditutupi sarung tangan menjadi kaku.

Menanti mentari terbit dari tepian telaga

Kami beruntung karena waktu masih menunjukkan pukul 04:30. Destinasi pertama yang kami pilih adalah Situ Patenggang, sebuah danau alami yang terletak di tengah hamparan perkebunan teh. Berhubung hari masih subuh, tidak ada penjaga gerbang masuk, jadi kami tidak perlu membayar retribusi tiket masuk.

Sepengetahuanku, Situ Patenggang, layaknya kisah-kisah tentang tempat lain di Indonesia, juga ada cerita cinta yang menjadi latar belakangnya. Di tengah-tengah danau terdapat sebuah batu cinta yang konon katanya siapa saja yang berperahu menuju tempat itu akan awet langgeng atau menemukan pasangan. Tapi, mitos tetaplah mitos. Sewaktu duduk di bangku SMA dulu aku pernah menaiki perahu bebek mengitari batu cinta itu, tapi tetap saja sampai detik ini masih sendiri.

Menikmati Situ Patenggang di pagi-pagi buta adalah sensasi tersendiri. Suasana begitu tenang, tidak ada suara kendaraan bermotor ataupun suara manusia. Bintang-bintang di langit bertaburan begitu cerah, sementara melodi alam berupa suara kodok memecah keheningan pagi itu.

IMG_0907
Telaga Patenggang, 05:30 WIB

Aku berjalan ke tepian danau dan berdiam diri sejenak, sementara itu temanku sibuk dengan kameranya sendiri. Dia merekam setiap suasana untuk kemudian dijadikan sebagai video. Kami berdua memiliki cara berbeda dalam menikmati alam, jika temanku sibuk melakukan dokumentasi, aku memilih untuk duduk, memejamkan mata, dan membiarkan suasana pagi yang syahdu itu merasuk ke dalam jiwaku.

Seiring waktu yang terus beranjak, langit yang semula gulita mulai memancarkan semburat cahaya terangnya. Bintang-bintang yang semula berpendar di angkasa mulai sirna tertutup oleh cahaya lebih terang, sementara itu beberapa rombongan turis lokal mulai datang memecah suasana hening.

IMG_0969
Halimun pagi di tengah hamparan kebun teh

“Hayu, mau lanjut ke Ranca Upas?” tanya temanku. Kujawab dengan anggukan setuju. Tatkala kami kembali berkendara, sesekali kami berhenti untuk memandang halimun yang merayap turun di tengah hamparan kebun teh. Halimun-halimun itu mengalir lembut dari punggung-punggung bukit. Halimun pagi begitu istimewa buatku karena Jakarta tak memiliki halimun semacam ini, yang ada hanyalah asap pekat dari kendaraan bermotor yang sejak pagi telah mengotori atmosfer.

Berlumpur-ria di Ranca Upas

Destinasi kedua kami adalah Ranca Upas, sebuah bumi perkemahan yang terkenal karena terdapat rusa-rusa jinak di dalamnya. Namun kami cukup kecewa karena setibanya di lokasi, bumi perkemahan ini lebih cocok seperti kamp pengungsian. Tenda–tenda tersebar di seluruh lokasi dan saling berdekatan. Lalu, mobil-mobil ber-nopol “B” memenuhi jalanan utama dan lahan parkir. Nampaknya hari itu Ranca Upas tengah kebanjiran tamu.

UPAS2
Rusa Ranca Upas

Ramainya Ranca Upas hari itu juga menjadi berkah bagi warga sekitar. Penjual cireng, cilok, batagor, siomay, telur gulung, nasi timbel, dan kopi telah siap sedia. Mereka menyapa setiap pengunjung Ranca Upas, bahkan ada pula yang menjajakan dagangannya ke tiap-tiap tenda. Pemandangan itu membuatku mengernyit, “Ini sih bukan camping, wong segala ada,” gumamku dalam hati.

Tapi, terlepas dari ramainya pengunjung, ada beberapa spot yang tetap nyaman untuk dinikmati karena tak banyak pengunjung yang mau menuju ke sana. Berjalanlah agak ke ujung, ke arah padang rumput, namun siap sedialah karena kaki kita akan segera terjerembab dalam lumpur pekat. Cukup sulit berjalan dalam lumpur yang tingginya semata kaki ini. Hal ini terbukti dari banyaknya sandal-sandal yang ‘nyangkut’ di lumpur lalu ditinggalkan pemiliknya begitu saja.

Rumput-rumput liar di padang ini masih dibasahi oleh tetesan embun. Embun-embun itu mewujud dalam butiran-butiran kecil air yang amat cantik jika kita amati dengan seksama. Temanku segera mengeluarkan senjata andalannya, kamera, kemudian menjepret setiap tetesan embun itu dengan amat detail.

Kaki kami yang dipenuhi lumpur membuat kami cukup sulit untuk menyebrang sebuah jembatan kayu. Lumpur yang menempe membuat jalan menjadi sangat licin, terpeleset sedikit saja maka kami bisa tercebur ke dalam sungai kecil. Tapi, walaupun lumpur itu menyulitkan kami berjalan, tapi setidaknya kami bersyukur karena masih bisa berkotor-ria dengan alam. Kami tidak tahu kapan lagi sang Pencipta memberi kami kesempatan untuk menikmati alam hasil karya-Nya yang agung itu.

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

 

Padang rumput di Ranca Upas menurutku adalah spot terbaik untuk menghirup aroma pagi. Sejauh mata memandang, semuanya hijau, lalu bukit-bukit menjulang sebagai latar belakang. Setelah dipuaskan oleh indahnya panorama alam, kami menutup perjalanan kami dengan dua mangkuk indomie rebus yang kami pesan di sebuah warung. Semangkuk mie rebus di tengah udara dingin pegunungan adalah kenikmatan yang tidak ada taranya. Ditambah segelas teh manis panas dan gorengan, percayalah, pagi yang kami lewatkan itu adalah salah satu dari pagi terindah yang pernah ada.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s