Momen senja baru saja berlalu. Semburat jingga di langit telah tertutup oleh gelapnya malam. Dari kejauhan, sorot lampu yang terpancar lokomotif semakin mendekat. Lama-lama makin terang dan suara gesekan antara besi dengan besi pun semakin terdengar. Puluhan penumpang yang tadinya duduk-duduk santai jadi bergegas menyiapkan diri. Kereta yang akan mengantar mereka menuju Ibukota akan segera datang.
Hari itu, kereta api (KA) Serayu Malam baru saja memulai perjalanan dinasnya. Kereta diberangkatkan dari Stasiun Purwokerto pada pukul 17:00 dan tiba di Stasiun Sidareja sekitar jam 6 sore. KA Serayu adalah satu-satunya kereta api yang menyediakan layanan perjalanan langsung dari kawasan Cilacap Barat menuju Jakarta. Jika tidak ada KA Serayu, maka perjalanan saya kali itu mungkin akan lebih sulit. Saya harus menaiki bus yang perjalanannya bisa memakan waktu 10 jam lebih karena macet.
Di peron nomor dua Stasiun Sidareja, KA Serayu Malam telah berhenti dengan sempurna. Saya pun bergegas mencari posisi duduk yang tertera di tiket: kereta nomor 5 kursi 3E. Berhubung hari itu adalah hari terakhir liburan Paskah, maka hampir seluruh kursi di kereta terisi. Seharusnya, saya duduk di nomor 3E, posisi kursi di samping jendela. Tapi, di kursi tersebut sudah diisi oleh seorang perempuan. Saat saya memintanya untuk pindah karena itu adalah kursi saya, dia mengelak. Kemudian dia memohon, katanya dia agak mabuk jika tidak dekat jendela.

Ketika seorang lelaki dihadapkan pada perempuan yang memohon, saya pun luluh. Dengan senyum, saya mengiyakan permohonannya. Inilah salah satu hal yang cukup menyebalkan dari perjalanan naik kereta ekonomi. Pada dasarnya, setiap penumpang harus duduk sesuai dengan nomor yang tertera di tiket. Namun, dalam kenyataannya, terkadang peraturan tersebut tidak mutlak. Ada hal-hal lain, seperti permohonan sang perempuan itu untuk mengganti kursinya. Menanggapi masalah ini, pilihannya hanya dua: ngotot atau ikhlas. Untuk kasus ini, saya memilih ikhlas karena tidak sampai hati juga jika si mbak itu mabuk beneran lalu muntah.
Selesai menaikkan penumpang, KA Serayu Malam pun kembali berangkat. Dari Sidareja, kereta terus melaju ke arah barat. Perjalanan KA Serayu adalah perjalanan yang unik karena hampir seluruh lintasannya adalah lintasan bergunung-gunung. Selepas kereta berhenti di Stasiun Banjar yang berelevasi 32 meter di atas permukaan laut, kereta terus mendaki. Titik tertinggi dari lintasan yang dilalui KA Serayu adalah Stasiun Nagreg dengan ketinggian 848 meter di atas permukaan laut. Jadi, dari Stasiun Banjar, KA Serayu harus mendaki setinggi 816 meter!

Selepas Stasiun Banjar, laju KA Serayu Malam mulai tersendat. Bukan karena masalah lokomotif, tapi karena statusnya sebagai KA kelas ekonomi yang mengakibatkan KA Serayu harus mengalah dengan kereta-kereta lainnya yang melintas. Dalam dunia perkeretaapian, sistem kasta berlaku, apalagi jika di jalur tunggal. Kereta api dengan kasta paling bawah—kelas ekonomi—harus mengalah apabila berpapasan dengan kereta lainnya yang berkelas bisnis atau eksekutif. Dan, di sepanjang lintasan Banjar-Bandung yang jalurnya adalah jalur tunggal, KA Serayu pun harus ikhlas berbagi jalur dengan KA Lodaya, Turangga, Mutiara Selatan, dan Malabar.
Menanti KA Serayu Malam tunggu bersilang dengan kereta-kereta lainnya cukup memakan waktu. Jadi, saya pun mencoba mengusir bosan dengan mengajak ngobrol penumpang di sebelah.
“Turun di mana, pak?” tanya saya membuka pembicaraan.
Di atas kereta api, pertanyaan basa-basi ini seringkali menjadi kalimat sakti. Jika lawan bicaranya adalah orang yang ramah dan supel, buntut dari kalimat ini adalah obrolan panjang dan ngalor-ngidul. Tapi, kalau lawan bicaranya adalah orang yang kaku dan tidak suka ngomong, pertanyaan tidak penting ini tidak akan berbuntut apa-apa.
“Aku turun di Senen, mas,” jawabnya dalam bahasa Jawa berlogat Ngapak.
“Lha, masnya turun di mana?” tambahnya.
“Aku juga di Senen pak. Tapi, dari Senen masih harus ke Kalideres. Aku tinggal dan kerja di sana,” jawab saya.
Kemudian, obrolan ini pun berlanjut. Penumpang sebelah saya itu bernama Purwadadi Supriyanto. Saya memanggilnya dengan sebutan Pak Supri. Badannya kurus dan kecil, senyumnya ramah, dan kumisnya tumbuh subur di antara bibir dan hidungnya. Setelah mengobrol cukup panjang tentang serba-serbi kereta api, Pak Supri membuat saya terhenyak.
“Saya ngelaju Gandrung (Cilacap) – Jakarta seperti begini sudah 15 tahun loh mas,” katanya.
“Ah masa pak?” saya balik bertanya.
Selama 15 tahun terakhir hidupnya, Pak Supri mengabdikan diri untuk bekerja di sebagai cleaning service di sebuah kantor gereja di Jakarta Utara. Omongannya bahwa dia sudah sering melaju Jakarta-Cilacap selama masa itu bukanlah sekadar isapan jempol. Pak Supri bertutur sangat rinci tentang KA Serayu, dari zaman ketika kereta api bebas diisi penumpang gelap dan hewan ternak sampai kereta dilengkapi AC seperti sekarang.
“Lah, pak, kenapa nggak cari kerja di yang deket aja, di Purwokerto gitu biar dekat sama istri?” tanya saya.
Pak Supri menggeleng. “Nggak mas, saya betah kerja di kantor saya yang sekarang. Lagian, saya sudah punya anak tiga, dan tidak kepikiran lagi untuk pindah kerjaan,” tandasnya.
Cerita Pak Supri membuat saya terkagum. Lagi-lagi di atas kereta api ekonomi saya mendapatkan kesan yang menyentuh hati. Duduk tegak di atas kursi ekonomi selama 10 jam lebih bukanlah sesuatu yang nyaman. Di kali pertama naik KA Serayu Malam menuju Jakarta, saya merasa sakit punggung dan kaki pegal. Apalagi jika saya tiba di Jakarta subuh dan jam 7 pagi harus kembali bekerja, rasanya begitu capek. Tapi, inilah yang dilakoni Pak Supri selama 15 tahun hidupnya. Melewatkan malam di atas kereta, tidur-tidur ayam, dan paginya langsung kembali bekerja.
Ada orang yang berkata hidup ini berat. Tapi, ada pula orang yang menikmati beratnya hidup tersebut. Cinta Pak Supri kepada keluarganya di kampung menjadi amunisinya untuk bertahan hidup di Jakarta. Lalu, karena cintanya pula, jarak selama 10 jam lebih yang harus ditempuh saban dua minggu tidak menjadi perkara. Walaupun saya yakin badannya pasti pegal dan lelah, tapi, kembali, cinta itulah yang menjadi kekuatan Pak Supri.

Selepas obrolan panjang ini, saya izin untuk tidur. Kereta sudah tiba di Stasiun Cipeundeuy. Masih ada ada 6 jam lagi untuk tiba di Jakarta. Selama masa inilah saya harus tidur. Jika tidak, bisa ngantuk berat dan sulit berpikir saat di kantor nanti.
Tapi, saya tidak bisa tidur. Sungguh menyiksa rasanya. Sambil mengenakan bantal lipat, tatapan saya tertuju kepada ponsel Pak Supri. Rupa-rupanya, Pak Supri belum mengantuk dan jemarinya begitu lihai mengetikkan pesan-pesan di Whatsappnya. Selesai berkirim pesan, kemudian dia membuka Facebook, mengunggah foto selfie-nya, kemudian menulis status. Tak hanya Facebook, dia pun membuka Instagram, mengunggah beberapa foto ke linimasanya. Terakhir, dia pun melakukan panggilan video dengan seorang wanita yang adalah istrinya. Tapi, karena sinyal yang naik-turun, panggilan video itu pun putus.
Pak Supri sadar kalau saya tidak jadi tidur dan malah memperhatikannya.
“Saya gak bisa lepas dari hape mas. Selalu saja ada yang nyari. Tapi, alhamdullilah, jadi punya banyak teman,” katanya.
Kemudian dia memperlihatkan koleksi teman-temannya di Facebook kepada saya. Tak lupa, dia pun menunjukkan foto keluarganya.
“Loh, kok beda anak pertama dan keduanya jauh amat pak? Anak pertama sudah kerja, tapi yang kedua kok baru kelas II SD?” tanya saya heran.
“Hahaha! Abis, saya kan kerja di Jakarta mas. Jadi jarang pulang, jarang ketemu istri, dan jarang bikin!” jawab Pak Supri sambil tawanya pecah.
Jam sudah menunjukkan angka 1 dini hari. Bisa tidak bisa, kali ini saya harus memaksa diri supaya tidur barang sejenak. Pak Supri pun memilih untuk memasukkan ponselnya ke kantong dan mencari posisi paling nyaman untuk tidur.
Tapi, senyaman-nyamannya posisi tidur di kereta ekonomi, tetap saja tidak tersedia opsi tidur cantik di sini. Tubuh Pak Supri bergoyang-goyang mengikuti irama goyangan kereta. Sementara itu, penumpang-penumpang lainnya tidur dengan gaya masing-masing yang unik. Ada yang membelakangi penumpang sebelahnya. Ada yang mengenakan headset. Ada yang bersandar di kaca. Dan, ada pula yang tidur tegak tapi mulutnya menganga lebar.
Seharusnya, KA Serayu Malam tiba di Stasiun Pasar Senen pada pukul 04:02. Tapi, jadwal kedatangannya terlambat jauh. Jam 05:02 kereta baru berhenti di Pasar Senen. Saya pun berpamitan dengan Pak Supri dan segera melanjutkan perjalanan ke kantor untuk kembali bekerja.

Di manakah kenikmatan naik kereta?
Hari itu, walaupun di kantor saya terhuyung-huyung seperti orang mabuk karena kurang tidur, tapi saya merasa puas dan senang karena perjalanan semalam. Duduk di kursi kereta yang keras memang tidak nyaman. Tapi, buat saya pribadi, sensasi perjalanan di atas kereta tidak selalu terletak pada kenyamanannya. Pak Supri adalah seorang yang menjadi salah satu alasan dari berkesannya perjalanan saya. Dari Pak Supri, saya jadi belajar untuk mensyukuri pekerjaan dan memprioritaskan keluarga.

Saya sangat suka bepergian naik kereta ekonomi, karena di sinilah terdapat aneka jenis manusia. Ada yang tua, muda, petani, backpacker, mahasiswa, hingga anak-anak yang menduduki kursi-kursinya. Tapi, di atas kereta ekonomi inilah orang-orang yang berbeda tersebut membaur, bertegur sapa, dan berbagi cerita. Tempat duduk yang dirancang berhadap-hadapan memang tidak begitu nyaman. Tapi, dari sinilah saya bisa belajar untuk bertegur sapa dan berkoordinasi dengan penumpang. Siapa yang mau kakinya ditekuk, dan siapa yang mau kakinya selonjor. Jika sudah sepakat, maka perjalanan pun bisa sedikit lebih nyaman.
Pada akhirnya, naik kereta api selalu memberikan kesan. Jadi, sudah siap angkat ranselmu dan berangkat?
Informasi Seputar KA Serayu
- KA Serayu memiliki dua kali pemberangkatan, yaitu pagi dan malam.
- KA Serayu melalui jalur lintas selatan Jawa Barat, sehingga waktu tempuhnya lebih lama (sekitar 12 jam) dibandingkan kereta lainnya yang melalui lintas utara (ke Purwokerto via Cirebon yang hanya memakan waktu 5-6 jam)
- KA Serayu terdiri dari 8 rangkaian kereta (6 kereta penumpang kapasitas @106 orang, 1 kereta makan, 1 kereta aling-aling)
- KA Serayu adalah kereta api PSO (bersubsidi) sehingga harga tiketnya Rp 67.000,- jauh lebih murah dibandingkan kereta ekonomi non PSO seperti Progo (120 ribu) atau Bogowonto (220 ribu)

Mau Tanya mas, kalau mau duduk berhadapan apakah benar no 1 dgn 2, 3 dgn 4 dan seterusnya biar bias selonjoran dengan teman seperjalanan
Halo mas, kalau posisi berhadapan yg berpasangan adalah ganjil-genap, 1 dengan 2, 3 dengan 4, 5 dengan 6, 7 dengan 8, dst.
Terima kasih informasinya Mas,
oh ya ada yg kelupaan tanya kereta makan biasanya posisi di tengah atau ujung rangkaian ? biar kalau bosan bisa nongkrong di kereta makan, dan juga apakah sering ontime atau delay, kabarnya kalau kereta ekonomi sering delay ya
Halo mas,
Posisi kereta makan biasanya ada di tengah rangkaian, antara di kereta nomor 3-5.
Kalau soal delay atau tidak, sepengalaman saya puluhan kali naik kereta delay itu jarang terjadi mas. Delay baru terjadi jika ada kendala teknis seperti mesin, atau alam saja. Atau, ketika jalur sedang padat-padatnya. Biasanya ini terjadi saat kereta antre mau masuk Jatinegara atau Senen, karena jumlah rel sedikit jadi harus mengantre.
kalo pengen duduk hadap ke depan dari jakarta ke purwokerto pilih kursi yg genap bukan mas?
Halo Mbak Nur,
Kalau ekonomi K3 Serayu ini tidak bisa ditebak mbak. Dua perjalanan terakhir dari Sidareja ke PSE sih saya duduk di nomor 4E, dan searah dengan laju kereta. Tapi kadang tidak pasti juga, karena rangkaian kereta bisa diganti.
wah bener banget mas pengalaman saya langganan pake kereta serayu tiap pulang kampung, sama pula lanjut ke kalideres hehe
ceritanya enak gan..
btw, kl mau ke stasiun serayu dari jakarta bisa ga mas? trus keretanya transit ga?
Stasiun Serayu mas? Ndak ada Stasiun Serayu. Serayu itu nama kereta apinya hehe
Cerita catpernya enak dibaca euy, seakan2 aku ikut terbawa di dalamnya..hihihi
Emang kalau naik kereta ekonomi tuh serunya di situ, bsa saling mengobrol dengan penumpang di sekitar kita..ujung2nya kita jadi saling curhat dan berbagi pengalaman hidup di antara kita..hehe
Betul. Tp kadang juga aku dapet zonk. Biasanya kalau penumpangnya sesama anak muda, mereka lebih cuek. Duduk, pasang headset, lalu tidur deh
Memang benar, kalau yg muda biasanya sering cuek atau paling banter ala kadarnya sja ngomongnya.. Tpi msh mending, lha dri pada yg tua yg memang lbh aktif ngajak ngobrolnya tpi ujung2nya “nanya status” terutama jika ngetripnya sendiri.. Wkwkwk #pengalaman