Selalu saja ada hal menarik dari pekerjaan sebagai editor. Tulisan-tulisan yang masuk ke redaksi setiap harinya beraneka-ragam seperti sepiring rujak buah. Ada tulisan yang manis mengaharukan tapi ada juga tulisan yang kecut dan harus membuat si editor garuk-garuk kepala.
Beberapa minggu lalu, ada sebuah kiriman tulisan yang masuk. Biasanya pengirim-pengirim tulisan itu adalah anak-anak muda yang usianya dari 15 – 20 tahunan. Tapi, kali ini berbeda, seorang oma berusia 70 tahun mengirimkan tiga judul tulisan sekaligus ke email redaksi.
Setelah dibaca-baca, dari tiga tulisan yang dikirimkan, ada satu yang topiknya cukup relevan dengan kehidupan generasi muda masa kini. Sang oma yang bernama Tilly Palar itu menulis sebanyak delapan halaman cerita, tanpa spasi dan ukuran font 11! Beliau bercerita panjang lebar dan begitu rinci tentang pengalaman hidupnya ketika membesarkan anak-anaknya. Tulisan tersebut lebih cocok dengan tulisan-tulisan yang ditulis dalam sebuah novel.
Awalnya sempat ada rasa ragu, apakah tulisan ini harus diterima atau ditolak? Jika diterima, berarti harus berusaha keras untuk melakukan editing. Tulisan nan panjang itu harus dipangkas, karena pembaca website itu tidak suka tulisan yang terlalu panjang. Lalu, gaya bahasa juga harus disesuaikan ulang dengan karakter umum pembaca. Tapi, jika ditolak pun sebenarnya ada rasa tidak enak, terlebih karena beliau tentu sudah berusaha banyak untuk menuliskan delapan halaman itu.
Akhirnya proses penyuntingan pun dimulai. Karena faktor usia, agak sulit untuk berkorespondensi dengan beliau sehingga kami pun memutuskan untuk bertemu dan mengobrol langsung saja daripada harus berkorespondensi melewati email atau telepon.
Sang Oma tak lagi prima, tapi jiwanya tetap menyala
Singkat cerita, hari Minggu (2/4/17) aku menemui sang Oma di sebuah gereja di kawasan Lippo Karawaci, Tangerang. Dalam gambaranku waktu itu, sang Oma tentulah masih segar bugar dan terampil menggunakan perangkat gadget. Toh bisa menulis delapan halaman, pasti Oma yang keren deh.
Setelah menunggu beberapa menit di depan pelataran gereja, sang oma pun datang. Beliau turun dari mobil, kemudian dituntun secara perlahan oleh seorang kawanku. Setelah mencapai tempat duduk, aku pun berkenalan dengan Oma.
Ternyata dugaanku salah. Kupikir oma ini keren, ternyata, dia jauh lebih keren! Di usianya yang ternyata sudah menginjak usia ke-70 tahun ini, beliau sudah tidak dapat lagi melihat. Pandangannya telah kabur sehingga dia harus dituntun kemanapun pergi. Beberapa tahun yang lalu pun beliau pernah mengalami serangan jantung.
Kondisi fisik yang terus menurun ternyata tidak sejalan dengan jiwanya. Semangatnya tetap menyala. Dengan senyum dia menyapaku. “Oh ini Ary ya, wah Oma senang sekali bisa duduk mengobrol bareng,” ucapnya hangat. Selama beberapa menit kami pun mengobrol. Beberapa pertanyaan kulontarkan kepadanya, dan oma pun menjawabnya dengan sangat detail, bahkan terlampaui detail. Ingatannya masih begitu kuat sehingga dia menjawab tiap pertanyaan dengan antusias.

Dalam kondisi telah rabun, oma masih semangat menulis. Tentu dia tidak mampu lagi menulis sendiri, melainkan ada seorang asistennya yang akan menuliskan apa yang diucapkan oleh oma.
Setelah semua pertanyaan usai dijawab oleh oma, kami pun mengobrol ngalor-ngidul tentang banyak hal. Di ujung pembicaraan, oma kembali mengundangku untuk datang menemaninya bercerita di minggu depan, juga minggu depannya lagi. Terakhir, dia menyampaikan minatnya kalau beliau masih ingin menulis buku! Oleh karena itu beliau ingin sekali memiliki teman bicara yang dapat membantunya bertukar pikiran.
Tulisan oma mungkin tulisan yang biasa-biasa saja, tetapi roh semangatnya merasuk hadir di setiap kata-kata yang dituliskannya. Pertemuan dengan oma mengajariku satu hal, yaitu tidak pernah ada kata terlambat untuk berkarya dan belajar. Jika oma yang usianya telah senja dan fisik yang terbatas saja masih semangat menulis, terlebih aku yang usianya masih hijau bagai pisang yang masih mentah di pohon.
Demikianlah sepenggal kisah dari keseharian sebagai seorang editor.
“There is joy in the Lord.”
Jakarta Barat, 3 April 2017