Konon katanya ibu tiri itu kejam, tapi ada pula yang bilang kalau ibu kota lebih kejam. Tapi, bagaimana dengan ibu kost? Apakah dia lebih kejam dari ibu tiri dan ibu kota? Jawabannya yaitu belum tentu, tergantung di kost mana kita tinggal dan sejauh mana rejeki beserta kita.
Sudah hampir tiga bulan berlalu sejak kali pertama aku menetap di Jakarta. Sewaktu di Jogja dulu aku sudah membayangkan hal-hal buruk yang akan terjadi ketika kost di Jakarta nanti. Pasti kostnya mahal, kamarnya sempit, tempatnya jorok, banyak maling, penghuni kostnya cuek, dan ibu kostnya menyebalkan—setidaknya itu yang ada di pikiranku dulu.
Kost yang kutempati di Jakarta bukanlah kost yang benar-benar rumah kost, tapi lebih kepada sebuah rumah tinggal biasa yang dihuni oleh seorang nenek (aku lebih senang memanggilnya ibu). Ibu Sri, sang nenek yang empunya kost ini sudah menjanda dan dikaruniai enam orang anak, tapi dia tinggal seorang diri. Berhubung rumahnya ada banyak kamar, maka tiga kamar di lantai atas yang tidak terpakai disewakan untuk menambah penghasilan hari tuanya (mungkin juga supaya rumahnya tidak sepi).
Ada semacam jet lag atau cultural shock yang kualami saat tinggal di minggu-minggu pertama. Semasa kost di Jogja dulu, semua serba mudah. Mau mencuci ada tempat cucian, menjemur ada loteng, mau memasak ada dapur, kulkas, TV dan lainnya yang sudah disediakan oleh Ibu kost. Tapi, lain Jogja, lain pula Jakarta. Ibukota punya ceritanya sendiri.
Sekarang setiap kali mandi harus berhemat air, pasalnya air tidak langsung diambil dari sumur melainkan dari PAM, sehingga air hanya ngocor di jam-jam tertentu. Lalu jika mau mencuci tak ada lagi tempat yang lapang, aku harus mencuci di garasi, itupun baru bisa mencuci malam-malam saat air PAM ngocor. Ditambah lagi WC di lantai atas rusak, sehingga aku harus melakukan aktivitas MCK di WC bawah yang artinya aku harus antre dengan banyak orang (biasanya anak dan mantu si nenek datang pagi-pagi dan mandi juga).
Terlambat pulang, dikunci deh..
Salah satu kerepotan selama kost di sini adalah soal jam pulang. Ibu kost yang sudah berusia senja itu biasanya tidur sebelum jam 23:00 dan menjadi masalah kalau-kalau aku harus pulang di atas jam sebelas malam. Ibu Sri tidak memberikan kunci ke penghuni kost, jadi kalau mau pulang malam harus izin terlebih dulu supaya pintunya tidak dikunci.
Setiap kembali ke Jakarta dari Bandung biasanya aku akan tiba di kost di atas jam 00:00, supaya tidak dikunci aku selalu mengabari si ibu supaya setiap minggu malam pintunya jangan dikunci. Tapi, namanya juga orang tua kadang-kadang suka lupa atau berhalusinasi.
Suatu hari aku izin kalau akan pulang jam 22:30 karena harus pergi menemui teman di daerah Slipi. Saat tiba di kost jam 22:20 ternyata pintu sudah dikunci. Pintu kugedor-gedor sambil aku coba menelpon nomor rumah si ibu, tapi selama 30 menit hasilnya nihil, malahan tetangga sebelah jadi sewot karena suara gedoran pintuku membuat berisik. Akhirnya aku menyerah dan pergi kembali ke Slipi untuk menginap di tempat teman dan kembali lagi ke kost subuh-subuh.

Lucunya, saat pagi hari aku menemui ibu kost, tanpa rasa bersalah dia menyapaku. “Bu, piye toh, kan aku sudah bilang pulang jam sebelas, lha belum jam setengah sebelas mosok sudah dikunci?” keluhku padanya. “Masa iya? Bukannya jam sepuluh mas nya sudah pulang dan masukin motor ke garasi toh?” jawab si ibu. FIX! Malam itu si ibu berhalusinasi atau memang ada makhluk halus menyerupaiku yang datang ke kost. Awalnya ingin marah, tapi aku malah ngekek sendiri.
Jadi, supaya aman, sebelum jam 22:00 aku akan kembali ke kost. Lagipula tidak aman keluyuran malam-malam di Jakarta seorang diri. Ya, kan?
Oase Batin di balik Kekelaman Ibu Kota
Terlepas dari segala kekurangannya, rumah kost ini menorehkan kesan mendalam untukku. Dari tempat ini aku mendapati bahwa ibukota tak sekejam yang ada di pikiranku, juga tak sekejam ibu tiri (tak semua ibu tiri juga kejam sih). Sudah selayaknya manusia itu hidup berdampingan walau ada begitu banyak perbedaan, bisa jadi beda usia, beda kelamin (tentu!), beda agama, ataupun beda cara hidup.
Setiap hari sepulang kerja, aku selalu disuguhi senyum hangat dari sang ibu kost, plus alunan musik dangdut koplo yang selalu diputarnya. Aku tidak terganggu dengan musik dangdut karena itu asyik didengar. Ibu kost sangat senang mengobrol, jika bertemu dengannya, minimal lima menit harus kuluangkan untuk mendengar curhatannya. Kadang aku harus memotong ucapannya dan pamit pergi, kalau tidak aku terlambat masuk kerja.
Dari ocehan ibu kost aku belajar untuk menjadi pendengar yang baik sekalipun apa yang didengar tidak selalu enak. Aku tahu bahwa ketika zaman semakin maju, orang lebih tidak peduli. Banyak anak muda seusiaku yang sudah bekerja lebih menginginkan rumah kost yang menjamin privasi, yang tak ada orang peduli satu sama lain. Tapi, aku tidak ingin itu terjadi dalam hidupku. Suka tidak suka, aku tetap harus menjadi manusia yang humanis, dan satu-satunya cara menjadi humanis adalah dengan tetap bergaul dengan siapapun tanpa memandang sekat perbedaan.
Suatu ketika, sehabis aku mencuci baju dan menjemurnya di depan kost, hujan besar turun. Waktu itu aku sedang berada di kantor dan baru pulang malam hari. Setibanya di kost, seluruh jemuranku sudah diangkat dan diletakkan di atas kursi. Waw, aku terharu. Padahal, waktu itu hanya ada jemuranku saja di atas, tak ada jemuran lain, dan ibu kost yang bawel itu ternyata memperhatikan baju-bajuku. Dia naik ke lantai atas dan mengambil baju itu satu per satu.
“Mas, itu bajunya sudah saya angkat, kasian mas nya kalau basah bajunya, nanti harus cuci lagi,” ucap ibu kost.
Hari demi hari, aku makin menikmati tinggal di rumah kost ini, layaknya aku sedang tinggal di rumah nenek. Memang tidak 100% nyaman tinggal di sini. Sulit sekali mengeluarkan motor dari garasi, lalu saat akhir pekan biasanya keluarga si Ibu kost yang jumlahnya hampir satu RT akan datang dan memenuhi kost. Kadang aku merasa awkward berada di antara kerumunan keluarga itu.
Tapi, aku mau berusaha menikmati apa yang Tuhan sudah berikan padaku, termasuk ketika Ia menunjuk rumah ini sebagai tempat tinggal sementaraku di Jakarta. Aku bisa mempraktekkan kasihku kepada ibu kost. Saat pagi aku menyapanya, kadang mengajarinya menggunakan smartphone, membantunya mengangkat perkakas berat, menjadi teman curhatnya, dan menjadi pendengar setia musik dangdut koplo yang diputarnya setiap hari.
Akhir kata, tidak pernah ada yang sempurna di dunia ini, selalu ada buruk di antara baik, dan ada baik di antara buruk. Terlepas dari potret kelamnya kehidupan Ibukota, aku menemukan sebuah oasis yang memperkaya batinku. Aku tak pernah tahu ke mana Tuhan akan membawa kelak,tapi aku tahu kalau Dia akan kembali membawaku pergi entah ke mana, dan Dia mau aku belajar sesuatu dari tiap fase hidup yang kulalui.
Di Jakarta inilah aku dididik untuk tetap menjadi pribadi yang mempunyai empati. Ketika kriminalitas merajelela, tentu mudah bagiku untuk meredupkan empatiku dan menaruh curiga akan setiap apapun. Tapi, satu yang kuyakini adalah imanku pada Tuhan telah mengalahkan segala kecurigaan itu.
“Tuhan yang maha kuasa tidak pernah terlelap menjagamu”
—-
Jakarta, 24 Februari 2017
Dari BolangJogja yang sudah tidak di Jogja
Hehe mirip cerita saya ketika dulu tugas di bojonegoro mas, kost di tempat nenek nenek sendirian 😅😅.
iya mas, kost selalu punya cerita. Tapi kost di Jogja tetep paling berkesan 😀