Di zaman ketika segala pesan dikirimkan secara elektronik, minggu kemarin aku menerima sepucuk surat yang tersimpan rapi dalam sebuah amplop kecil. Kupikir itu hanyalah surat biasa yang berisikan promosi dari bank, tapi tebakanku salah. Setelah kulihat nama pengirimnya, ternyata amplop kecil itu dikirimkan jauh-jauh dari Eropa, melintasi samudera dan benua untuk tiba di tanganku.
Amplop itu dikirimkan oleh Johannes Tschauner, sahabatku dari Jerman. Tiga tahun lalu, tepatnya tanggal 8 September 2013 aku tidak pernah menyangka akan memiliki seorang sahabat dari bangsa yang berbeda. Kami bertemu di pinggir jalan kota Yogyakarta, tepatnya di depan sebuah gereja. Waktu itu aku sedang duduk-duduk di angkringan tatkala seorang bule jangkung menghampiri.
Aku tidak tahu harus berkata apa karena memang tidak fasih berbahasa Inggris. Bule itu menyapaku dan bertanya kapan jam ibadah gereja dimulai. Aku menjawabnya dengan terbata-bata kalau ibadah akan dimulai jam 17:30 dan saat itu waktu baru menunjukkan pukul 16:30. Kami pun mengobrol dan aku berkeringat dingin karena itu kali pertama aku berbicara seorang diri dengan seorang asing. Kami bertukar nomor telepon dan memutuskan untuk pergi ibadah bersama di minggu depan.
Pertemuan kali itu memacuku untuk berlatih bahasa Inggris secara otodidak. Sepulang di kost, kubuka google dan belajar tentang percakapan sederhana dalam bahasa Inggris. Kulatih diriku berbicara sendiri depan cermin di kamar. Terlihat konyol memang, tapi kupikir itu cara satu-satunya agar aku bisa berkomunikasi dan tak terlihat bodoh di depan si bule.
Minggu lewat minggu, kami menjadi akrab dan semakin akrab setelah mengetahui kalau kami memiliki hobby yang sama, yaitu jalan-jalan. Alhasil, setiap akhir pekan kami selalu melanglang buana berkeliling Jawa Tengah menggunakan sepeda motor. Aku yang berbadan kurus mengendarai motor dengan bule jangkung di belakangku.
Kami menikmati setiap jengkal perjalanan, melihat hijaunya sawah, segarnya air terjun, bertemu keluarga-keluarga baru. Tapi, setelah enam bulan berlalu, kami harus berpisah. Masa studi praktek Johannes di Yogyakarta telah berakhir, dan pada 1 Februari 2014 dia harus kembali ke Jerman.
Aku masih ingat jelas, waktu itu kami berpisah di stasiun Lempuyangan karena sebelum bertolak ke Jerman, Jo ingin ke Bali dulu. Ketika kereta akan segera berangkat, kami saling memeluk, mengucapkan salam perpisahan dan menangis haru. Jika mengingat kembali kejadian itu, rasanya lucu sekali melihat dua orang saling berderai air mata di stasiun yang padat.
Ternyata, perpisahan itu bukan menjadi akhir dari persahabatan. Johannes adalah tipe orang yang sangat mengapresiasi persahabatan. Kami tidak putus kontak, lewat piranti facebook kami mengobrol tengah malam, bersenda gurau, bicara politik, bahkan pasangan hidup.
Aku sering bercanda pada Jo kalau dia mungkin akan lama menjadi jomblo karena hobbynya traveling. Tapi, dia tetap bersikukuh kalau dia akan menikah duluan daripada aku.
Pertemuan Kedua di Sumatra
Dua tahun setelah perpisahan itu, Jo menamatkan studinya di Jerman. Lewat hasil tabungan yang ia kumpulkan, ia pergi keliling dunia menuju Asia Tengah, dan ia kembali memasukkan Indonesia di daftar akhir kunjungannya.
Waktu itu aku masih kuliah semester enam, dan dia mengirimiku sebuah pesan singkat di Facebook. Dia mengajakku pergi berkeliling Sumatra selama satu bulan dan menanggung semua biaya akomodasi di sana. Waw, aku bergeming. Aku punya mimpi berkeliling Indonesia, tapi tak punya cukup uang, dan hari itu mimpiku menjadi nyata.

Singkatnya, kami bertemu pada 25 Juni 2015 di Kuala Namu dan menghabiskan satu bulan penuh dengan mengembara dari satu kota ke kota lainnya, dari Medan menuju Sabang di Aceh, lalu menyusuri pegunungan di Aceh Tengah, menikmati hari nan damai di Tuk-tuk Siadong Danau Toba, dan menaiki bus ALS menuju Padang, Sumatra Barat.
Perjalanan 30 hari itu memberikanku esensi dari sebuah petualangan. Perjalanan itu mengajariku bahwa perjalanan tidak selalu bicara soal jarak, tapi soal siapa yang kita temui. Dan, hal yang paling menarik untuk dibagikan adalah sebuah cerita, bukan barang untuk dipamerkan.
Selamat!
Kembali kepada sebuah amplop kecil, ketika kubuka ternyata isinya berupa sebuah undangan pernikahan! Kupikir Johannes sedang bercanda ketika dia mengatakan padaku di Facebook kalau dia akan mengirimkan undangan asli ke alamat rumahku. “Buat apa kirim, aku juga tidak mungkin datang, dan kamu juga tidak punya uang untuk membiayai ke sana, haha” tulisku padanya.
Tapi, ia tidak bercanda, ia tetap kirimkan undangan itu. Dan, ada satu kalimat yang Johannes tulis. “Sekalipun aku tahu kamu tidak bisa datang ke Jerman, tapi undangan ini tetap kukirim sebagai bukti bahwa kamu adalah orang spesial, sahabatku, yang kehadirannya kunantikan.”
Undangan itu hanyalah sebuah kertas dengan tinta hitam yang tertulis diatasnya. Sekilas, tak ada yang istimewa di sana. Tetapi, motivasi di balik surat itu dikirimlah yang begitu istimewa buatku. Aku memahami arti seorang sahabat yang melintasi sekat bangsa dan budaya, sebuah ikatan, sebuah perjalanan, dan sebuah kebersamaan yang selalu hadir walau tak dalam rupa fisik.
Selamat, Johannes! Ucapanmu benar, kamu ternyata menikah duluan dan aku turut berbahagia atas itu. Kiranya suatu saat nanti kita dipertemukan kembali, di sebuah tempat yang kita belum tahu. Mungkin kita akan merayakan Natal bersama di Indonesia, atau sekadar melihat kangguru di Australia, atau mungkin juga menonton tari perut di Turki sana.
——–
Congratulations, my brother!

2 pemikiran pada “Sebuah Amplop dari Jerman”