Hari minggu menjelang siang tatkala sebagian jalan arteri Ibukota masih lumayan lengang, ratusan manusia berjubel memadati Katedral. Satu per satu mobil mengantre mencari tempat parkir, sebagian yang tak sabar segera membunyikan klakson sementara pedagang makanan di luar pagar Katedral laris manis melayani pembeli.
Gereja Katedral Jakarta selalu ramai setiap hari Minggu sepanjang tahun. Pesonanya mampu mendatangkan banyak sekali orang, dari yang berhati tulus ingin beribadah hingga yang hanya sekedar numpang eksis dengan berfoto. Katedral memang unik, menaranya tinggi menjulang ke langit Jakarta dan bangunannya berdiri tepat di depan Masjid Istiqal, sebuah lambang akan damai yang berdampingan.
Aku datang jauh lebih awal sebelum misa Minggu jam 11:00 dimulai supaya mendapatkan tempat duduk di dalam gedung gereja. Jemaat yang hadir memaknai katedral dengan beragam. Tampak sepasang lansia berjalan pelan menuju deretan kursi depan, tanpa bercakap mereka membuat tanda salib, tak lansung duduk mereka memilih untuk berlutut terlebih dulu untuk menyatakan bakti pada Tuhan.
Jemaat semakin tenang ketika misa dimulai. Umat berdiri menyambut datangnya Romo pertanda ibadah nan khidmat dilangsungkan. Pujian merdu mengalir lembut, mazmur didaraskan, homili disampaikan hingga pemberian komuni semua berjalan tenang dan teduh.
Sambil terlarut dalam nuansa teduh itu mataku tertuju pada burung-burung gereja yang terbang di langit-langit. Mereka acuh tak acuh akan kehadiran ratusan jemaat di bawahnya, seolah mereka ingin mengatakan kalau gereja ini adalah rumah mereka, rumah yang Pencipta mereka ciptakan untuk segala makhluk ciptaan-Nya.

Tak sampai dua jam berlangsung, ibadat misa pun usai ketika Romo memberikan pesan damai dan pengutusan kepada jemaat. Suasana yang semula khidmat mulai menjadi ramai, beberapa jemaat segera mengambil posisi ke depan untuk berfoto, sebagian lain memilih untuk keluar, dan ada juga yang memilih pergi ke bagian belakang untuk menyalakan lilin dan berdoa.
Aku memilih untuk berdiam di dalam bangunan tua ini dan melekatkan lututku di pijakan. Seraya berlutut, kututup mataku untuk sekali lagi berdoa, membiarkan Sang Khalik berbicara secara perlahan lewat keheningan.
Aku tidak terlahir sebagai seorang Katolik, tapi aku adalah pengunjung setia gereja Katedral. Tak kulupakan untuk singgah barang sejenak setiap kali aku merasa penat dalam rutinitas. Bangunan nan tua ini menawarkan ketenangan, tempat yang teduh untuk menemukan pribadi Tuhan yang tak terlihat.
Aku larut dalam suasana damai, sebuah suasana yang tak mampu aku deksripsikan dengan kata-kata. Tak ada yang kuingini selain berdiam diri di kursi gereja. Segala penatku perlahan gugur tergantikan syukur. Aku tahu, rumah Tuhan terbuka untuk siapapun, ya, siapapun yang merindukan merasakan damai-Nya, sebuah damai yang berbeda dari apa yang dunia berikan.
Di sela-sela rutinitas metropolitan yang terkadang menjemukan, kutemukan tempat bertetirah tepat di jantung Ibukota. Tak perlu membayar apapun, cukup dengan hati terbuka maka damai itu akan datang dan mengalir.
