Semenjak kuliah, aku jarang pulang ke rumah saat Natal tiba. Dengan alasan hemat ongkos, aku memilih berdiam di kost dan mengerjakan aktifvitas lain, toh orang tua juga tidak menuntut aku untuk pulang. Tapi, kini setelah aku bekerja, pemikiranku berubah. Jika dahulu pulang sebagai sesuatu yang opsional, kini pulang adalah kerinduan.
Menghabiskan hari-hari di tempat kerja sejak matahari terbit hingga tenggelam bisa jadi rutinitas yang membosankan. Tatkala akhir pekan tiba, pulang ke rumah adalah salah satu cara untuk recharge kembali semangat yang terkuras habis. Beruntung rumahku berlokasi di Bandung, cukup dekat dari Jakarta dan tidak harus merogoh kocek terlalu dalam.
Tahun-tahun sebelumnya, aku pernah melewatkan Natal di rumah, tetapi hatiku tidak berada di sana. Hatiku terpusat pada apa yang bisa kulakukan dengan teman-teman di libur Natal, tentang pergi ke tempat baru, atau sekedar hang out untuk mengobrol. Itu tidaklah salah sejatinya, toh memang dengan hadirnya liburan Natal, teman-teman dari berbagai daerah bisa pulang dan itu jadi momen yang pas untuk bertemu.
Memaknai Natal tahun ini membawa pikiranku terbang ke masa ketika kisah Natal pertama berlangsung. Natal sejati dimulai dari sebuah keluarga, yap, keluarga kudus yang terdiri atas Yusuf, Maria dan bayi Yesus. Sang Juruselamat yang adalah Tuhan tidak memilih untuk datang secara tiba-tiba dalam wujud dewasa, melainkan dari titik paling awal hidup manusia yaitu dari kandungan seorang ibu.
Berbicara soal keluarga, dulu aku sempat pesimis tentang keluargaku. Bagiku tak mungkin ada harapan untuk keluargaku bisa bersatu, duduk bersama, tertawa dan melewatkan tanggal merah bersama. Belasan tahun waktu berlalu, pesimismeku dahulu terkikis oleh harapan yang terus menyala.
Terkadang, juga seringkali Tuhan tidak menjawab doa kita dengan mengubahkan keadaan. Aku tahu kalau Ia maha kuasa, tetapi Ia maha bijak. Tuhan tahu kapan dan bagaimana kuasa-Nya harus dinyatakan. Ketika kita berdoa, seringkali yang Ia ubahkan pertama adalah cara pikir kita akan sesuatu. Banyak permasalahan terjadi hanya karena kita tidak bisa memandang masalah itu dari kacamata sang Pencipta.
Aku pernah memandang keluargaku sebagai bencana, sebagai sebuah tempat yang penuh pertengkaran. Tuhan tidak serta merta mengubahkan keluargaku, tapi pertama kali ia ubah cara ku memandang keluarga. Ia bukakan mataku tentang perjuangan papa yang bekerja banting tulang berjualan siomay batagor. Sekalipun ia jarang menanyaiku, juga sering membentak, tapi di situlah letak cintanya. Cinta papa bukan diwujudkan dalam kata-kata romantis ataupun memberi pelukan dan benda-benda mahal. Tapi, wujud cintanya yang sejati adalah pada kerjanya, bentakannya, rasa marahnya juga bawelnya.
Aku tersadar kalau selama ini dalam hidup kita cenderung membandingkan diri dengan orang lain, padahal setiap orang, juga keluarga memiliki style nya masing-masing. Tidak menelpon bukan berarti lupa dan marah bukan berarti benci. Semua kembali tergantung pada cara kita memandang sesuatu.
Perubahan besar tidak pernah terjadi tanpa perubahan kecil. Ibarat seseorang jatuh tersandung bukan karena batu besar, tapi karena kerikil, demikian jugalah hidup. Cara pikir yang berbelas kasih dan mau memahami orang lain adalah kunci dari pemulihan. Jangan pernah berdoa dan berharap mau keadaan berubah kalau otak kita tidak mau diubahkan dahulu.
Natal di tahun 2016 ini menjadi Natal yang berbeda untukku. Suatu masa Natal yang kumaknai sebagai perjalanan pulang, kembali ke titik nol hidupku, kepada keluarga. Kutinggalkan Jakarta sejenak dan kusambut keluarga di rumah.
“What can you do to promote world peace? Go home and love your family.” – Mother Teresa