Ah, Jakarta!

Aku termenung dan tak sabar ingin segera sampai di tujuan sementara bus yang kutumpangi tetap tidak bergerak terjebak dalam macet. Jakarta, sebuah kota yang sempat kupikir akan mendatangkan sukacita karena menemukan pekerjaan di sana, tapi nyaris satu bulan berada Ibukota, aku belum menemukan diriku larut dalam ritme khas metrpolitan. Rutinitas, semerawutnya jalanan, macet, bising dan kesepian menjadi konsumsiku setiap hari.

Jam kantor menunjukkan pukul 17:00, segera kurapikan meja dan bergegas untuk pamit kepada teman-teman kantor. Pagi sebelum aktifitas dimulai aku terkena tilang di jalanan Jakarta karena kedapatan melanggar lalu lintas. Akibatnya aku harus membayar denda karena kesalahan itu. Aku meringis dan bertambahlah perasaanku untuk weekend agar segera datang dan aku mengungsi ke kota lain sejenak.

Aku memutuskan tidak menggunakan motor dulu hari itu karena selama aku belum hafal jalanan Jakarta, ada kemungkinan aku akan kembali ditilang. Lebih baik aku menjadi warga kota yang memanfaatkan transportasi publik dan kupilih menaiki busway di jam pulang kerja yang super padat.

Seperti biasa, setiap orang yang kutemui berkutat asyik dengan gadget mereka seolah dunianya hanya terdapat di layar 5 inchi dan orang-orang di sekelilingnya hanya menumpang ngontrak. Ada pula yang dengan segera memasang headphone kemudian larut dalam alunan musik. Tanpa interaksi, senyum pun sulit terlihat di sini apalagi saat jam-jam sibuk saat energi tiap orang telah habis terkuras.

Jauh berbeda dengan kehidupanku sebelumnya yang dengan orang tidak kenal pun bisa tercipta obrolan hangat. Semasa di Jogja dahulu kesepian adalah barang langka. Duduk di angkringan, teh panas disajikan lalu obrolan hangat mengalir. Pintu kamar kost dibuka, teman-teman datang menyapa. Kontras dengan Jogja, sekalipun pintu kostku dibuka tak mungkin ada teman menyapa, lebih mungkin maling yang datang ketimbang kawan.

Satu jam berlalu di atas bus yang bergerak perlahan bak siput. Sesampainya di lokasi, aku berjalan menyusuri lorong jembatan penyeberangan dan ada pemandangan yang menegurku. Aku melihat orang-orang berjualan di atas jembatan itu. Ada yang menjajakan kue, tissue, aksesoris handphone dan aneka cemilan. Mereka terduduk di samping dagangannya sambil sesekali menawarkan produknya kepada para pejalan kaki. Hanya sedikit yang akhirnya berhenti dan membeli, tapi mereka tidak menyerah.

Aku tahu kehidupan ibukota begitu keras. Ada orang-orang seperti mereka yang belum dapat mengecap manisnya kehidupan metropolitan, tapi satu yang pasti mereka tetap menaruh harapan sekalipun mereka sendiri tidak yakin akan dagangannya yang habis atau tidak hari itu.

Tak jauh dari jembatan, sekelompok anak kecil berlarian sambil tertawa karen dikejar seorang satpam dari sebuah perkantoran. Sambil membawa karung mereka bermain kucing-kucingan seolah tak peduli dengan bisingnya suara klakson. “Eh, mainnya jangan disini, disono nah, nanti dimarahin kalo disini!” tegas pak Satpam.

Tanpa menampilkan wajah kecewa, anak-anak tadi terus bercanda sambil berpindah tempat. Kali ini mereka memilih jalanan di samping sungai sebagai tempat untuk mereka menikmati pertemanan. Aku tertegun, lalu tersenyum lebar. Pandanganku tak lepas dari anak-anak itu hingga langit menjadi gelap.

Aku terdiam dan tak tahu kata-kata apa yang harus kuucapkan. Dalam hati aku mengucap, “aku terlalu bodoh, Tuhan! Aku tidak tahu bersyukur,” ucapku lirih. Anak-anak tadi mengobati kesepianku. Saat ini aku tidak tahu dan tidak dapat memberikan sesuatu untuk membantu mereka meraih masa depan. Aku hanya dapat mendoakan mereka agar negara tempat kita tinggal ini menaruh perhatian lebih bagi mereka yang papa.

Semangatku kembali dinyalakan. Aku harus semangat untuk bekerja, bukan supaya kelak aku bisa menghindar dari semerawutnya Jakarta, tapi supaya kelak aku bisa melakukan sesuatu yang berguna dan nyata bagi orang-orang yang terpinggirkan sebagaimana sumpahku sebagai seorang sarjana, “membela yang papa, mengingatkan yang mapan.”

Menuntaskan permasalahan khas metropolitan berupa kemiskinan memang tugas berat, dan tak pernah cukup hanya dengan melakukan pemberian. Harus ada sistem yang tertata baik di mana setiap fasilitas yang sejatinya untuk publik dapat dinikmati oleh semua golongan.

Dan, kota ini tak akan menjadi lebih baik ketika warganya memutuskan untuk tidak peduli dan menutup hati. Aku harus belajar untuk membuka hati bagi kota ini, lebih banyak berdoa ketimbang mengutuki kota ini dan satu hal sederhana lainnya adalah menikmati fasilitas transportasi publik tanpa menggerutu macet.

Akhir kata, Jakarta mungkin membosankan dan menjemukan. Tapi, Jakarta memberiku pelajaran kalau masih ada orang-orang yang tetap berharap walau kehidupan terlihat suram.

****************

Jakarta, 21 Desember 2016

@BolangJogja yang tidak lagi di Jogja

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s