Kado Merantau dari Tuhan

Kadang, merantau itu sedih, tapi terkadang juga mengasyikkan. Intinya, ketika merantau ada banyak dinamika pahit manis yang dialami. Kita belajar buat menerima, juga melepas, dan terpenting belajar untuk hidup di macam-macam keadaan.

Minggu lalu bisa dibilang jadi minggu yang paling sedih buatku. Pasalnya, sudah empat tahun dan enam bulan kuhabiskan di Jogja, lengkap dengan teman-teman yang super menyenangkan dan erat bagai keluarga. Kenyataan berkata lain, setamat kuliah aku perlu bekerja dan kebetulan aku berhasil diterima di sebuah lembaga pelayanan global yang memiliki kantor cabang di Jakarta.

Minggu pagi (4/12), dengan hati berat aku duduk di gerbong paling belakang kereta api Fajar Utama. Kupikir gerbong paling ekor hari itu akan kosong, tapi ternyata penuh. Seorang ibu berjalan membawa koper dan kebingungan mencari tempat duduk. “Kursi nomor berapa bu? Sini sekalian saya bantu naikkan kopernya ke atas,” sambutku. Ternyata ibu itu duduk di sebelahku. Singkatnya kami mengobrol panjang tentang pengalaman diri masing-masing.

Sebelum berangkat, aku berjanji untuk tidak memesan makanan apapun di kereta. Aku harus berhemat karena gaji pertama bekerja baru akan diterima di akhir bulan, jadi hari itu aku hanya membawa selembar roti tawar. Aku pun tertidur, dan ketika hari menjelang siang, ada pramugari datang dan mengantarkan dua paket nasi rames.

Mari mas, silahkan makan siangnya, biar nemenin saya makan,” kata ibu sebelahku. “Wah bu, malah ngerepotin ini,” sahutku. “Gak apa-apa mas, dimakan saja, biar kita makan barengan,” kembali sahut ibu itu.

Suapan demi suapan nasi rames tak hanya mengenyangkan perut, tapi juga menghapus kesedihan. Sepaket nasi rames itu menjadi sebuah kado pertama dari Tuhan atas perjalanan perantauanku ke Ibukota, seolah Ia hendak berkata, “don’t worry bro! I’ll take care of you!” 

Seraya makan, pikiranku bertualang. Aku menyadari kalau sang Pencipta jauh lebih mengerti tentang kebutuhan anakNya, ketimbang aku sendiri. Aku mungkin berdalih tak mau makan karena minim uang, tapi Ia tahu kalau aku butuh makan, maka ia mengirimkan makanan lewat kebaikan sang ibu di sebelahku.

Hari itu, di atas kereta api, semangatku yang padam akibat meninggalkan Jogja perlahan berpendar kembali. Aku tahu, tantangan di depan tidaklah ringan, tapi lewat kejadian di atas kereta ini aku disadarkan kalau ada jawaban dari persoalan, ada bimbingan dari tantangan, dan ada berkat dari ketulusan.

Kini, seminggu nyaris sudah kulalui di Jakarta. Tidak tahu kemana Ia akan membawa nanti, tapi kemana Ia menuntun, ke situ aku kan menuju. Aku menikmati sekali pekerjaanku, dari pekerjaan ini aku dibawa untuk kembali menjadi inspirasi bagi ribuan anak-anak muda.

Jakarta, 9 Desember 2016

BolangJogja yang tak lagi di Jogja

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s