“Senja di ibukota, belum tentu seindah ini,” sahut temanku. Pernyataan itu membuatku terperanjat, mengingat waktuku di Jogja kurang dari satu bulan, dan selepas itu akan sulit untuk menemukan waktu berdua dengan alam.
Hari minggu lalu langit yang biasanya kelabu ternyata panas terik tanpa ada tanda-tanda turun hujan. Kebetulan juga saat itu ada dua orang rekan dari Bandung datang berkunjung ke Jogja, maka kuajaklah mereka untuk mampir ke kabupaten Gunungkidul. Primadona dari kabupaten berkapur ini adalah pantai pasir putih yang indah, tapi ada satu yang membuatku penasaran, sunset di bukit Kosakora.
Bertolak dari kota Yogyakarta pukul 12:30, perjalanan kami melewati liukan jalan menanjak Gunungkidul. Setibanya di Jalan Baron, ada dua jalan yang bisa ditempuh. Jika lurus bisa melewati Pantai Baron, jika berbelok kiri melewati kecamatan Tepus dan Pantai Indrayanti. Jika memilih jalan via Tepus jaraknya lebih jauh, tapi relatif lebih sepi dari bus-bus besar.
Ikuti jalan utama menuju Pantai Indrayanti/Sundak, setibanya di pos retribusi masuk pengunjung dikenakan tarif Rp 10.000,- per orang sudah termasuk sepeda motor. Kembali ikuti jalan berkelok melewati Pantai Indrayanti dan Sundak. Tak jauh dari sana terdapat jalan kecil ke kiri dan bertuliskan papan kecil “Pantai Pulau Drini”. Berbeloklah ke arah situ dan berjalan perlahan.

Pantai Drini sebelumnya jauh lebih terkenal ketimbang Bukit Kosakora, namun belakangan ini berkat kehadiran Instagram, bukit ini menjad terkenal. Menuju Bukit Kosakora, pengunjung harus memarkirkan kendaraan di pos parkir milik warga sebelum pantai Drini. Pantai dan bukit masih harus diakses dengan jalan kaki melewati perkebunan warga dan jalan berbatu selama lima belas menit.
Melewati hamparan kebun, tibalah kami di pantai mungil yang bersih dan sepi dari pengunjung. Di sekeliling pantai terhampar rerumputan juga bukit-bukit yang menghijau, oleh karenanya pantai ini disebut dengan Pantai Ngrumput. Di sisi pantai ada sebuah bukit tinggi yang dinamai sebagai bukit Kosakora. Selidik demi selidik, dahulu bukit itu dinamai warga dengan bukit Ngrumput karena dijadikan tempat mencari rumput untuk ternak. Nama Kosakora sendiri baru muncul ketika ada wisatawan yang menceletukkan nama baru itu dan mewartakannya lewat media sosial.
Akses yang masih terisolir menjadikan pantai Ngrumput lebih sepi dan tenang. Tak banyak pengunjung yang berwisata di sini, juga hanya ada empat warung yang buka. Suasana begitu tenang ditambah dengan suara gemuruh samudera. Karakteristik dari Pantai Ngrumput adalah berpasir putih dan berkarang, harus berhati-hati jika hendak bermain air di sini karena tidak adanya penjaga pantai dan ombak cukup besar.
Menjelang sore, kami berpindah spot menuju puncak bukit Kosakora. Jika berminat naik, setiap pengunjung dipungut retribusi warga sebesar Rp 2.000,-. Mendaki Kosakora cukup mudah, jalan setapak membentuk tangga lengkap dengan penyangga telah dibuat oleh warga sekitar. Namun, tetap harus berhati-hati karena bebatuan yang tajam. Cukup lima belas menit perjalanan untuk tiba di puncak.
Puncak Kosakora beralaskan rumput hijau dan pohon-pohon khas pantai. Posisi bukit agak curam, namun menghadap langsung ke arah matahari terbenam. Menjelang pukul lima sore ketika sinar matahari meredup, cahaya keemasan terasa begitu hangat. Ditambah lagi dengan halimun tipis dari samudera yang menyapu bukit-bukit di bibir pantai.
Kenikmatan senja di Kosakora telah menjadi primadona dan memikat banyak orang. Tampak serombongan orang asyik berpose dengan kamera, ada pula yang mendirikan tenda, juga ada yang pasangan-pasangan kekasih yang seolah tak mau dunianya terusik. Semua aktivitas larut menjadi satu dalam romansa sebuah senja yang sempurna, antara matahari, kita dan debur ombak samudera.
Kehadiran wisatawan juga menjadi berkah bagi warga sekitar. Ada satu warung yang berdiri tepat di atas bukit, lengkap dengan fasilitas charge handphone. Jika ingin menikmati senja dengan lebih hangat, bisa memesan teh panas seharga Rp 3.000,- atau juga kopi. Pemilik warung juga menyediakan spot foto dengan latar tulisan “Bukit Kosakora” namun pengunjung harus membayar Rp 2.000,- per orang.

Kehadiran senja selalu istimewa. Jika fajar datang memberikan kita semangat akan hari baru, senja hadir untuk mengajari kita rasa syukur atas hari ini dan harapan untuk hari esok.
Gunungkidul, 6 November 2016
Dengan penuh cinta akan Yogyakarta,
Aryanto Wijaya