Hangatnya Senja di Lereng Arga Lawu

Selepas tengah hari, suhu udara di ketinggian semakin menyusut. Matahari yang sinarnya meredup seolah kalah bersaing dengan udara pegunungan yang dingin. Dari sebuah perkebunan teh di Lereng Lawu inilah nuansa senja dihidupkan, namun ditemani dengan sepoci teh panas.

Niatnya sih hadir ke acara Jobfair yang diselenggarakan di Solo pada 18 Oktober 2016, namun memang dasar nalurinya adalah ngebolang, maka niatan Jobfair pun pupus menjadi Travelfair, alias jalan-jalan sendiri. Perjalanan kami dimulai pada pukul 10:30 dengan mengendarai sepeda motor bebek. Hal paling menyebalkan adalah berkendara ke Solo menjelang siang bolong, bukan karena jauhnya, tapi karena panas belum lagi ada 38 lampu stopan yang harus dilewati di sepajang jalur Jogja hingga Solo.

Sudah kali keempat Jobfair yang aku ikuti, dilanjutkan dengan psikotes, dan diakhiri dengan kegagalan. Karena sudah terbiasa gagal, maka aku pun tidak kecewa, malah bahagia. Selagi aku melamar kerja, aku pun turut memperbanyak agendaku berkeliling. Bukan untuk pamer, tapi untuk bekal hidupku kelak. Aku tidak mau mati tanpa memori akan indahnya alam juga ramahnya manusia. Pun, aku tak ingin dongengku buat cucu-cucu nanti hanya persoalan cinta monyet semata atau soal duduk manis di bangku sekolah.

Cuaca ke arah timur di bawah kaki gunung Lawu mendung pekat. Sempat terpikir untuk banting setir dan pulang ke Jogja, tapi sayang juga karena sudah pergi lumayan jauh. Ya sudah, akhirnya kami putuskan melaju ke kaki gunung Lawu dan terjebak hujan yang mengguyur tak sampai lima menit. Ternyata hujan malah membawa berkah, udara menjadi semakin sejuk dan puncak Lawu samar-samar mulai terlihat.

img_0162
Sinar keemasan menyinari seisi kebun teh

Perhentian kami yang terakhir adalah kedai teh Ndoro Ndongker. Dari namanya saja sudah ke-belanda-belandaan, dan kami semakin penasaran tentang apa yang menarik dari rumah teh ini. Menuju Ndoro Ndongker cukup mengambil arah menuju Tawangmangu. Setibanya di Karangpandan, pasang mata karena ada persimpangan yang apabila ke kanan menuju Tawangmangu dan ke kiri menuju Candi Sukuh / Candi Cetho. Berbeloklah ke kiri dan selamat datang di kawasan wisata Candi Sukuh Cetho!

Jalanan mulai menanjak, tapi tak terlampau curam dan pemandangan sekitar berlatarkan hijaunya perkebunan warga khas pedesaan. Tak ada papan penunjuk menuju Ndoro Dongker, ikuti saja arah panah menuju Candi Cetho atau Agrowisata Teh. Ketika jalanan semakin menanjak, pemandangan yang semulai dipenuhi rumah dan kebun warga berubah menjadi hamparan permadani hijau kebun teh dan tandanya kita sudah hampir sampai di Ndoro Dongker.

Ada rombongan pejabat saat kami tiba di Ndoro Dongker. Untungnya saat kami tiba, mereka sudah selesai, jadi kenyamanan senja tak terganggu dengan suara berisik. Ada banyak lokasi tempat duduk, tapi yang paling asyik adalah kursi meja yang berlokasi persis di samping kebun teh. Sambil duduk-duduk, sambil pula menghirup udara segar.

Namanya juga rumah teh maka menu utama yang ditawarkan adalah teh. Harga yang dibandrol tidak terlalu mahal alias wajar karena kita tak hanya membeli sepoci teh, tapi juga suasana yang adem. Kami memesan sepoci Teh Oolong yang dibandrol Rp 30 ribu dan seporsi singkong goreng seharga Rp 10.000.-.

img_0130
Teh Oolong sepoci dan singkong goreng

Tak sampai sepuluh menit, teh hangat disajikan beserta singkongnya. Ketika dituang ke gelas, aroma teh begitu harum semerbak, berbeda dengan teh celup yang kita seduh sendiri. Sambil memandangi kebun teh dan matahari keemasan, teh terasa semakin nikmat.

Selain Ndoro Donker, spot menarik lainnya di lereng Lawu adalah Candi Sukuh dan Cetho. Kedua candi ini berbeda dengan candi-candi di Jawa Tengah lainnya yang dibangun pada era Mataram Kuno. Sukuh dan Cetho dibangun pada masa Majapahit, tepatnya kala kepemimpinan Rani Suhita. Hingga kini fungsinya masih diperuntukkan sebagai tempat ibadah, khususnya untuk orang Hindu dari Bali yang berziarah.

Nama Ndoro Donker bukan sekedar nama asal pilih, tapi ada sejarahnya. Berdasarkan penuturan warga setempat, dahulu pada masa kolonial terdapat seorang ahli tanaman berkebangsaan Belanda yang bernama Donker. Sedangkan nama “Ndoro” adalah kata bahasa Jawa yang berarti Tuan.

Menikmati teh di Ndoro Donker, selain mendapatkan kenikmatan teh, juga disuguhi ketenangan suasana khas pegunungan. Menyeruput teh di sini seolah membawa kami mundur satu abad ke masa di mana Tuan Donker masih hidup. Begitu tenang dan memukau, betapa kayanya tanah ini.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s