Ada kalanya di tengah ritme hidup yang semakin rumit, kita perlu berhenti sejenak. Berhenti untuk terlarut dalam liturgi, ataupun bisikan angin. Ketika jiwa telah kembali penuh, kembalilah kita pada ibadah yang sejati, “Pergilah dan perbuatlah demikian.”
Jalanan Yogyakarta tak lagi selenggang dulu, kini perlu waktu bermenit-menit untuk bisa lolos dari satu lampu merah ke lampu merah berikutnya. Perjalanan menuju Prambanan di jam-jam sibuk bisa jadi perjalanan yang cukup melelahkan lantaran macet yang cukup panjang.
Terlepas dari kemacetan panjang, di sebelah tenggara Prambanan berdiri sebuah tempat untuk menenangkan diri yang kini dikenal sebagai Sendang Sriningsih. Saya memacu sepeda motor melibas padatnya jalan raya Yogya-Solo dengan harapan bisa menemukan ketenangan di sendang nanti. Ini bukan kali pertama saya mengunjungi sendang yang membuat saya selalu ingin kembali.

Perjalanan menuju Sriningsih bisa ditempuh melewati jalur utama Yogya-Solo melewati candi Prambanan. Sebetulnya ada jalan langsung menuju Sendang Sriningsih melewati Candi Boko, namun saya selalu tersesat karena minimnya papan penujuk. Jalan yang saya pilih adalah via Gantiwarno, Klaten. Cukup mudah menemukan Sendang Sriningsih. Selepas Prambanan, melaju terus hingga melewati dua lampu merah dan menemukan SPBU di kiri jalan. Segera putar balik dan berbelok menuju jalan kampung, dari sini papan penunjuk arah cukup memadai.
Bangunan rumah perlahan pudar seiring dengan jalan aspal yang menerobos masuk melintas persawahan. Hijau membentang bagai permadani. Ketika sawah mulai menghilang, jalanan yang semula datar kini mulai menanjak dan dari sini terdapat beberapa percabangan jalan. Jangan pernah ragu untuk gunakan GPS alias Gunakan Penduduk Setempat, yaitu bertanya langsung pada warga tentang arah yang tepat.
Jalanan yang menanjak mengarahkan kita masuk ke dalam lebatnya hutan yang masih terjaga. Sekalipun menanjak, jalanan sudah teraspal rapi sehingga aman dilalui kendaraan bermotor. Jalan aspal akan berakhir dan digantikan oleh jalan tanah, itu tandannya kita telah tiba di pelataran Sendang Sriningsih. Sepeda motor bisa dititipkan di pekarangan warga dengan membayar tiket parkir serelanya.
Oase Batin dan Nikmat Ibadah
Sejatinya, Sendang Sriningsih adalah bangunan untuk umat Katolik berdoa dan memohon rahmat Tuhan, namun tidak ada larangan untuk orang lain non-katolik berkunjung. Siapapun bisa hadir dan menikmati ketenangan Sendang Sriningsih.
Menilik pada sejarah pendiriannya, usia sendang ini telah berpuluh-puluh tahun. Pendiriannya dimulai dari kemunculan sebuah sendang, atau sumber air bernama Sendang Duren yang kala itu dianggap angker. Muncul sebuah ide dari seorang Romo juga Lurah setempat kala itu untuk menjadikan tempat yang konon katanya angker ini menjadi sebuah tempat peziarahan untuk berdoa.

Sendang yang semula angker tersebut perlahan ditata dan dipercantik sehingga tak ada lagi kesan angker disana. Tepat di samping sendang terdapat Goa Maria yang dihiasi oleh pepohonan tua dengan akar menggantung. Suasana di sekeliling Goa Maria sungguh tenang, hanya suara anjing menggonggong yang sesekali memecah keheningan.
Saya tertegun menikmati keteduhan. Alih-alih berdoa, kaki saya mengajak untuk melangkah lebih jauh ke sisi lain sendang. Selain terdapat rute jalan salib yang memutari bukit, terdapat juga Puncak Golgota yang berdiri sebuah salib kokoh perlambang akhir sengsara Kristus. Akhir dari prosesi jalan salib akan mengantar peziarah pada Puncak Golgota yang dari situ pemandangan Bukit Mintorogo maupun kota Klaten tersaji dengan indah.
Memandangi salib di Puncak Golgota, kaki pun terasa lemas dan perlahan menarik dirinya hingga mencium tanah. Sungguh teduh suasana sore itu. Tak ada orang lain di Puncak Golgota, hanya saya sendiri bersama desiran angin nan lembut. Mengambil waktu beberapa menit untuk berdiam dan menziarahi hati, saya menemukan sebuah jawaban atas ibadah yang sejati.

“Pergilah dan perbuatlah demikian,” sebuah penggalan kalimat yang diucapkan oleh Kristus. Kalimat itu begitu menggema kuat dan menghancurkan semua konsep ibadah yang selama ini sering dianggap paling benar. Ibadah sejati bukanlah ketika seseorang duduk menikmati liturgi atau mengurung diri berjam-jam buat berdoa. Ibadah sejati terjadi ketika seseorang beranjak dari tempatnya, pergi, dan melakukan apa yang benar serta baik bagi sesama. Sebuah pemahaman akan ibadah yang sederhana namun memikat, kecil namun berdampak besar.
Ada kalanya di tengah ritme hidup yang semakin rumit, kita perlu berhenti sejenak. Berhenti untuk terlarut dalam liturgi, ataupun bisikan angin. Ketika jiwa telah kembali penuh, kembalilah kita pada ibadah yang sejati, “Pergilah dan perbuatlah demikian.”
terharu membacanya…..thanks for writing this
Terima kasih kembali kak 🙂
Just beautiful. Terima Kasih sudah berbagi.
Kembali kasih, terimakasih juga sudah mampir 😀