Samosir, Primadona Danau Toba

Laju bus yang lambat harus berpacu dengan waktu yang beranjak sore. Bus tua nan sesak mengantarkan kami menembus jalan berliku menuju Parapat, sebuah kota kecil di tepi kaldera Toba yang dilintasi jalan Trans-Sumatra. Perlahan tapi pasti, bau keringat ditambah kesesakan dalam bus memicu rasa mual namun syukurlah panorama Toba dari kejauhan mengobati diri dari kepenatan perjalanan.

Tak sampai dua jam, bus bernama “Sejahtera” yang kami tumpangi dari Pematangsiantar ini tiba di Parapat. Beruntung penumpang yang duduk di sebelah kami adalah seorang mahasiswa USU yang tengah mudik ke Samosir. “Oh baru pertama ke Samosir, iya nanti turun di Tigaraja, terus nyeberang ke Tuktuk bang,” jelasnya memberikan informasi mengenai Samosir.

IMG_3497
PO Sepadan, bus umum rute Kabanjahe – Pematangsiantar

Berdasarkan informasi, Ferry menuju Tuk-tuk di Samosir berangkat setiap satu jam sekali. Beruntung kami tiba di Tigaraja tepat pukul 14:30 sehingga tersisa waktu lumayan banyak untuk kami beristirahat karena Ferry terakhir akan berangkat pukul 17:30.

Perjalanan kami tidak terlalu berat jika dibandingkan dengan lintas Aceh beberapa hari sebelumnya. Dari Berastagi kami cukup menaiki angkot seharga Rp 4.000,- untuk tiba di Terminal Kabanjahe. Dari sanalah kami mengganti kendaraan dengan Bus PO Sepadan tujuan Kabanjahe – Siantar. Layaknya bus-bus AKDP lainnya di Sumatra, bus ukuran 3/4 atau elf ini berfasilitas seadanya. Jangan tanyakan AC, bisa berjalan selamat pun rasanya sudah syukur.

Satu hal yang mendebarkan hati selama perjalanan lintas Sumatra adalah soal keselamatan di jalan raya. Selain turis rawan ditipu, pengemudi di sini kurang peduli soal keselamatan, mereka lebih mengutamakan kecepatan. Maka, tak ayal jalanan sempit berkelok dibuat seperti arena balapan tanpa memikirkan ada penumpang yang berjejal bagaikan teri dalam bus.

Penumpang juga tidak peduli akan kenyamanan penumpang lain. Kondisi bus yang penuh sesak masih harus diperparah dengan perokok-perokok yang entah usil atau memang tak merasa salah. Mereka dengan santainya merokok sementara asapnya meracuni puluhan penumpang lain yang juga tak berani menegur.

Setelah sekitar tiga jam mengarungi jalanan, bus PO Sepadan yang kami tumpangi di Pematangsiantar. Seperti biasa, di terminal puluhan calo akan menawarkan angkutan wisata ke Toba. Kami menolak, karena kami sudah dipesani oleh ibu pemilik penginapan Sibayak untuk segera menaiki bus Sejahtera setibanya di Siantar. Tak perlu membayar mahal, cukup Rp 15.000,- bus tua renta ini akan mengantarkan kami sampai di tepi danau Toba.

IMG_3499
Kota Parapat yang terletak di sisi Danau Toba

Tuk-tuk Desa Mungil di Tengah Toba

Tujuan utama kami selama di Toba adalah Tuk-tuk, sebuah desa yang namanya tersohor di kalangan backpacker. Maklum, Tuk-tuk tercantum dalam Lonely Planet, maka tiap harinya puluhan bule yang menggendong ransel raksasa selalu datang ke Tuk-tuk. Perjalanan ke Tuk-tuk dilakukan dengan menaiki Ferry dari pelabuhan Tigaraja selama satu jam. Penumpang Ferry diwajibkan membayar Rp 15.000,- per orang.

IMG_3529
Ferry menuju Tuk-tuk 

Danau Toba begitu luas sehingga nyaris sama dengan lautan. Saking luasnya, air danau pun berombak cukup besar seperti di laut. Terkadang ferry menghujam ombak yang tinggi sehingga limpahan air membasahi geladak.

Tiba di Tuk-tuk, hamparan persawahan menghijau dan dihiasi oleh tebing-tebing kekar di belakangnya. Tersedia puluhan hotel hingga homestay di desa ini, kami memilih untuk bermalam di Liberta Guest House. Penginapan ini merupakan yang termurah di seluruh Tuk-tuk, kami berdua cukup membayar Rp 44.000,- per malam untuk kamar ukuran besar.

Selain menyediakan kamar, Liberta juga menyediakan fasilitas restoran sederhana dengan kebanyakan menu western. Penginapan kecil ini sudah mendunia lantaran juga tercantum dalam lonely planet. Tak hanya kami yang menginap disana, melainkan juga rekan-rekan backpacker dari Jerman, Belanda, Perancis, Inggris dan Taiwan.

IMG_3667
Halaman belakang Liberta Homestay, langung danau!

Kami harus berdiam di Tuk-tuk selama 12 hari karena tak ada lagi tiket bus yang tersisa untuk pergi ke Padang, Sumatra Barat. Kami baru memperoleh tiket bus ALS pada tanggal 22 Juli malam, sehingga kami harus menghabiskan masa Idul Fitri di Samosir. Namun, tak apalah menetap lebih lama di Tuk-tuk karena akomodasi yang murah di sini.

Tuk-tuk menjadi favorit karena tersedia berbagai macam atraksi serta fasilitas. Rental sepeda motor dan sepeda bisa dengan mudah dijumpai, namun harus pandai menawar habis-habisan. Terbiasa dengan turis asing terkadang membuat harga menjadi sangat mahal ketika dilihat dari kacamata Rupiah.

IMG_3705
Hijaunya tuk-tuk

Berjalan sedikit ke arah jalan utama trans-Samosir, padang rumput nan hijau membentanng luas. Naik lah ke padang rumput itu makan Danau Toba akan terhampar luas, sedangkan tebing-tebing kekar menghiasi di belakangnya. Paling nikmat untuk menikmati tempat ini ketika senja. Sinar matahari yang meredup seiring juga dengan suhu yang semakin sejuk, sambil berbaring di padang rumput tentunya melepaskan kita dari kepenatan.

IMG_3698
Dari atas bukit Tuk-tuk

Jika malam, Tuk-tuk bisa dibilang mirip kawasan wisata di Bali. Kafe-kafe bertebaran, namun tidak bising karena sedikit kendaraan bermotor yang berlalu lalang di sini. Untuk rekan-rekan yang Muslim dapat memilih warung makanan halal yang tersedia di beberapa lokasi di Tuk-tuk.

Kuliner khas Tuk-tuk selain daripada tuaknya adalah Babi Panggang Karo. Kami beruntung karena memiliki rekan yang berkuliah di Jogja namun orang tuanya adalah pemilik restoran Elios di Samosir. Kami mendapatkan babi panggang secara gratis, sungguh nikmat dan bahagia.

IMG_3534
Babi panggang karo di Restoran Elios

Babi Panggang di Restoran Elios memang tersohor se-Samosir. Masakan Babi diolah secara segar lengkap dengan bumbu-bumbu spesial. Sensasi menyantap panggang karo ini akan semakin sempurna ketika dibarengi dengan segelas jus markisa.

Jelajah Samosir 

Tuk-tuk hanyalah sebagian kecil dari Pulau Samosir yang berlokasi tepat di tengah kaldera Toba. Selain Tuk-tuk kami juga menjelajahi Tomok, Ambarita, Nainggolan hingga Pangururuan yang terletak di daratan utama Sumatra.

Dengan bermodalkan sepeda motor sewaan seharga Rp 80.000,- per hari (termasuk bensin tapi tanpa helm) kami mengeliling Samosir. Rute pertama adalah menjelajah ke wilayah Tomok lalu ke utara. Beberapa tempat seperti Makam Raja Sidabutar juga atraksi tari Batak dapat dijumpai disini. Tomok sedikit lebih ramai ketimbang Tuk-tuk karena Ferry besar yang mengangkut kendaraan berlabuh di sini.

Dari Tomok jika dilanjutkan terus jalanan akan menanjak dan berkelok. Semakin jauh jalanan aspal akan rusak dan berlubang, namun masih aman untuk dilalui kendaraan roda dua maupun empat. Di wilayah Ambarita terdapat sebuah tempat untuk menangkan diri bernama Bukit Doa.

IMG_3660
Bukit Doa

Sebuah bukit hijau didedikasikan sebagai tempat berdoa untuk umat Kristen. Bukit doa ini dikelola oleh denominasi gereja setempat namun terbuka bagi khalayak umum. Sedikit cerita, Kekristenan mengakar kuat di wilayah Samosir, maka bangunan gereja dapat dengan mudah dijumpai di sini. Hadirnya Kekristenan di Tanah Batak dibawa oleh seorang Misionaris Jerman bernama Nommensen yang membaktikan hidupnya dalam pelayanan di tanah Batak.

Kini, karya Nommensen dapat terlihat nyata dengan mayoritas warga Samosir yang mengaku beriman Kristen, juga beberapa lembaga sekolah, gereja juga karya-karya lainnya yang tersebar di wilayah Samosir.

Beralih dari Bukit Doa, di wilayah utara Samosir terdapat beberapa pantai. Tentunya pantai disini bukan laut, melainkan pantai dari Danau Toba. Beberapa pantai terletak di wilayah Simanindo dan Parbaba, bagian utara Samosir.

IMG_3613
Pantaii….

Selain pantai, jika berkendara terus ke wilayah Pangururan, terdapat pemandian air panas dari sumber alami. Dari kejauhan, di seberang danau terdapat tebing vulkanik yang masih memancarkan fumarol, di sanalah lokasi air panas berada.

IMG_3649
Gereja Katolik Inkulturasi di Pangururan

Dari Pangururan, kami memacu kendaraan kami ke Menara Pandang Tele. Namun, sebelum tiba di Tele kami mampir sejenak ke air terjun Efrata yang terletak masih di wilayah Pangururan. Dari balik hijaunya bukit terlihat dua tingkatan air terjun mengalir deras, namun jangan berbangga dulu karena lokasi air terjun masih jauh.

IMG_3639
Ruas jalan tak beraspal di Pangururan

Setelah menanjak dengan jalanan rusak kami tiba di pelataran parkir. Tak dipungut bia masuk apapun selain parkir seharga Rp 2.000,-. Air terjun Efrata sungguh cantik, aliran airnya terpecah membentuk tirai-tirai tipis yang menyebarkan hawa sejuk. Debit airnya pun tak terlalu besar sehingga memungkinkan untuk sekedar bermain air disana.

IMG_3741
Air Terjun Efrata

Puas dengan air terjun Efrata, perjalanan kembali dilanjutkan menuju Menara Tele. Pengemudi harus ekstra hati-hati karena jalanan sempit. Lengah sedikit jurang di samping jalan akan jadi lubang maut seketika. Dari menara Tele kita dapat melihat panorama Samosir dengan jelas.

IMG_3768
Toba dilihat dari jalan raya menuju Menara Tele

Pepohonan, sawah dan luasnya Danau Toba membentuk goresan alam yang nyaris sempurna. Sedikit catatan, menara Tele ini kondisinya agak memprihatinkan. Menara yang digunakan sebagai gardu pandang ini agak rapuh secara konstruksi, dilihat dari kerusakan yang menyebar di dinding serta pondasi menara.

IMG_3773
Jalan menuju menara Tele

Jarak yang harus ditempuh dari Tuk-tuk ke meara Tele sekitar 80 kilometer atau selama tiga jam berkendara. Namun kepenatan berkendara akan terbayar lunas ketika menikmati panorama dari atas.

IMG_3775
Panorama dari Menara Tele

Samosir, ada Danau di dalam Danau

Bertolak ke bagian lain Samosir kita akan menemukan danau di dalam danau. Samosir sendiri terletak di tengah Danau Toba, dan di wilayah Simbolon kita akan menemukan aek Sidihoni, serta aek Natonang di wilayah Nainggolan.

IMG_3723
Berkendara bersama Jeff Ho, turis Inggris ke danau Natonang
IMG_3722
Danau Natonang

Kedua danau tersebut berisikan air yang tenang,namun jauh dari jangkauan turis. Umumnya turis hanya singgah sejenak menyaksikan danau sebelum kemudian bertolak ke wilayah wisata lainnya.

IMG_3636
Gembala Kerbau

Melaju ke wilayah Selatan jalanan berliku-liku namun kita akan menemukan panorama Danau Toba dengan perbukitan yang membentang bagai naga. Sesekali beberapa warga datang menghampiri turis-turis seraya membawa serta kerbau mereka.

IMG_3729
Toba dari sisi Selatan

Di wilayah ini kami sempat membeli makanan berupa mie goreng, melihat kami adalah turis maka sang pemilik warung memberikan kami satu teko tuak. “Kalau bisa minum tuak satu teko saya kasih gratiskan mie nya!” tantangnya sambil tertawa. Tapi kami menolak, daripada kecelakaan karena mabuk ya lebih baik bayar saja mie seharga Rp 15.000,-

Secara keseluruhan, jika menggunakan sepeda motor Samosir dapat dijelajahi dalam dua hingga tiga hari.

Sipiso-piso, Air Terjun Tertinggi di Indonesia

Bosan berkeliling Samosir, kami kembali ke wilayah Parapat untuk kemudian menuju Tongging. Pukul 09:00 kami mencari persewaan motor di Parapat, namun hasilnya nihil. Kami memutuskan untuk naik taksi menuju Tongging seharga Rp 40.000,-. Sebenarnya tidak ikhlas, tapi karena tidak ada pilihan angkutan lain maka dengan terpaksa kami naik taksi.

IMG_3574
Panorama Tongging

Perjalanan menuju Tongging ditempuh dalam waktu sekitar dua jam mengitari Toba. Kebetulan di dalam taksi kami bersama dengan sebuah keluarga yang terdiri dari istri orang Indonesia, suami orang Belanda dan kedua anak. Keluarga ini mengaku bertemu di Riau kemudian saling jatuh cinta. Kini, sang bule sedang mudik ke Indonesia untuk liburan.

Tiba di Tongging kami berpisah karena keluarga tadi bertujuan ke Berastagi sedangkan kami ke Sipiso-piso. Waw, sepanjang perjalanan di Tongging ini panorama Danau Toba tak bisa dihindari. Jalanan yang mengitari danau di satu sisi membuat mual namun sisi lain sungguh enak dilihat.

IMG_3589
Sempatkan diri untuk selalu berfoto

Untuk memasuki area air terjun Sipiso-piso kami harus menuruni ribuan anak tangga. Syukurlah pengalaman trekking di Gunung Leuser dan mendaki Sibayak membuat aku cukup kuat. Air terjun Sipiso-piso sendiri akan bermuara di danau Toba.

Tinggi mulut air terjun ke darat adalah sekitar 120 meter, menjadikan Sipiso-piso sebagai yang tertinggi di Indonesia. Saking tinggnya, hempasan air Sipiso-piso membuat basah baju pengunjung dari jarak 200 meter. Hanya pengunjung yang nekat basah kuyub sajalah yang berani mendekat ke pusat air terjun.

IMG_3572
Sipiso-piso Waterfall

Perjalanan kembali dari Sipiso-piso adalah hal yang menyebalkan. Anak tangga yang tadinya dituruni sekarang harus dinaiki. Jika tak pandai mengatur nafas pasti akan ngos-ngosan maksimal. Beberapa turis alih-alih menyerah mereka memperbanyak waktu istirahat. Jalan lima langkah, berheti, minum, selfie begitu seterusnya.

Dengan keringat bercampur basah air terjun kami melanjutkan perjalanan pulang menuju Tuk-tuk. Waktu sudah menunjukkan pukul 15:00 dan kami harus tiba di Parapat sebelum pukul 17:30 untuk mengejar Ferry terakhir. Jika ketinggalan, maka kami harus bermalam di Parapat.

Berjalan kaki dengan kecepatan penuh, kami terobati dengan hadirnya pedagang jeruk asli Jeruknya menggoda, kuning merona, manis dan murah sekali. Cukup membayar Rp 10.000,- per Kg, kami memborong sebanyak 3 Kg untuk cemilan malam.

IMG_3594
Jeruk yang kuning menggoda

Setelah dipuaskan jeruk, kami harus berjuang kembali. Tiga puluh menint menunggu, tak ada bus yang kosong untuk kami tumpangi. Hingga saat kami putus asa, ada satu bus yang nekat memasukkan kami ke dalam. Akibatnya, sepanjang dua jam perjalanan dari Tongging menuju Parapat kami harus menungging! Ya, menungging selama dua jam bukan perkara mudah apalagi kondisi bus penuh sesak, badan lelah sehabis hiking, plus ada jeruk seberat 3 kilogram.Pukul 17:20 tepat kami tiba di Tigaraja, dengan demikian kami tidak jadi ketinggalan Ferry.

Samosir, Akhir dari Perjalanan Kami

Selepas Samosir, tujuan kami selanjutnya adalah Padang, namun bukan untuk kembali menjelajah melainkan untuk berpisah. Johannes akan melanjutkan perjalanannya ke Malaysia, sedangkan aku akan kembali ke Jakarta untuk internship .

Samosir tetap menjadi primadona, setidaknya di hati kami. 🙂

IMG_3715
Senja di Samosir

 

2 pemikiran pada “Samosir, Primadona Danau Toba

    1. Halo,

      Wah, aku sudah agak lupa. Kalau tidak salah aku naik PO Sepadan yang bentuk mobilnya elf. Tapi kala itu mobilnya penuh sekali, kami berdiri sepanjang jalan sampai ke tigaraja.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s