Takengon, Swiss van Sumatra

Jika Eropa memiliki Swiss yang khas dengan pegunungan Alpennya, Jawa yang memiliki dataran tinggi Dieng, Sumatra juga memiliki Takengon sebuah kota yang tak kalah dengan kota-kota dataran tinggi lainnya. Terletak di Aceh Tengah, Takengon sering juga dijuluki sebagai “Kota Dingin” karena jam 12 siang pun masih terasa sejuk.

Perjalanan kami telah menyentuh hari ke-12 dari total 30 hari. Bertolak dari Banda Aceh, kami menaiki sebuah mobil travel atau disebut juga taksi. Terlambat 30 menit dari jadwal semula, pukul 09:30 kami dijemput di Pasar Peunayong. Taksi yang sejatinya adalah mobil Mitsubishi Wagon L-300 ini bisa dibilang cukup nyaman walau tanpa pendingin udara.

IMG_3363
Kota Takengon dari ketinggian

Perjalanan ke Takengon normalnya memakan waktu 6 hingga 7 jam. Namun berhubung ini bulan Ramadhan perjalanan pun molor. Taksi yang kami tumpangi berputar-putar mencari alamat di Banda Aceh hampir dua jam. Saat menjemput penumpang terakhir pun masih harus menunggu karena yang dibawa oleh penumpang itu bukan barang biasa, melainkan sebuah sepeda motor Astrea Honda yang harus dimasukkan di kabin belakang mobil.

20150707_100111
Motor yang dimasukkan ke dalam mobil

Cuaca kurang bersahabat. Selepas Bireun, jalanan mulai berkelok dan longsor terjadi di kanan-kiri jalan membuat perjalanan terasa lebih lama, belum lagi sopir yang selalu menepikan kendaraan setiap satu jam. Menjelang gelap kami pun tiba di Takengon. Namun, entah kami harus menginap di mana. Berdasarkan Lonely Planet terdapat hotel kelas backpacker bernama Buntul Kubu seharga Rp 100.000,- namun kami tidak beruntung karena hotel tersebut telah disulap jadi markas Satpol PP.

Bingung, akhirnya kami mendapatkan titik terang. Seorang kawan di Yogyakarta yang asli Takengon memberi kami kontak kediaman orang tuanya. Dia mempersilahkan kami untuk tinggal bersama keluarganya di sebuah Asrama Polisi Takengon. “Udah, gak apa-apa, tinggal di rumah ibu bapakku saja daripada harus di hotel, nanti motor juga boleh dipakai kok.” bujuk temaku. Baiklah, kami menuruti sarannya untuk bermalam di Asrama Polisi.

Kala itu sudah pukul 19:45 dan kami tiba di sebuah Asrama Polisi. Anak-anak yang tengah bermain sejenak hening melihat sosok bule berjanggut. “Dek, rumahnya Pak Manullang dimana ya?” tanyaku. Mereka pun serentak menunjuk sebuah rumah dengan warung di depannya. Tiba di depan warung kami disambut oleh Pak Manullang yang secara sekilas terlihat seram, tapi ternyata baik sekali.

Udara diluar dingin dan berkabut, segera kami dipersilahkan masuk dan dua gelas kopi panas telah terhidang. Senang bukan main karena sambutan yang sangat hangat dari keluarga Manullang, padahal sebelumnya kami belum pernah bertemu. Tak lama Ibu Manullang pun bergabung dengan kami selepas ia pulang dari Gereja.

Rumah Pak Manullang tidaklah besar, namun sangat hangat dan rapi. Bukan hanya hangat karena banyaknya selimut, namun keluarga ini sungguh harmonis sehingga menghasilkan aura yang hangat. Keluarga pak Manullang dikaruniai empat orang anak, dan ketiga anaknya berada di Yogyakarta untuk kuliah, sedangkan yang bungsu masih bersekolah di bangku SMA.

IMG_3413
Bersama ibu Manullang di warung depan rumahnya

Putra pak Manullang yang ketiga adalah rekanku selama kuliah di Yogyakarta. Sejatinya kami tidak terlalu dekat, namun karena di semester tiga kita memilih Jurnalisme sebagai konsentrasi studi, ternyata kita jadi banyak satu kelas.

Keesokan harinya perjalanan mengitari Takengon pun dimulai. Ibu Manullang mempersilahkan kami menggunakan satu motornya untuk berkeliling. Beliau memberikan kami juga uang jajan, namun kami tolak karena sudah terlalu banyak merepotkan.

Pagi itu baru pukul 09:00 dan udara dingin masih sangat terasa. Berjalan ke tengah kota, semerbak bau kopi menghambur ke udara. Ah, sungguh indah untuk dikenang, sebuah kota dengan semerbak aroma kopi! Mengarah ke Danau Laut Tawar, terdapat sebuah tugu bertuliskan “Gayo Highland”.

IMG_3402
Jalan aspal di sekeliling Danau Laut Tawar

Takengon si Kota Dingin ini terletak di dataran tinggi Gayo dan berada persis di sebelah Danau Laut Tawar. Namun, satu hal yang disayangkan dari Takengon adalah penduduknya yang kurang sabaran. Di sebuah SPBU, masyarakat tidak terbiasa mengantre akibatnya kacau balau, kendaraan menumpuk.

Selepas mengisi bensin, kami mengitari danau dan mencari tempat yang tepat untuk beristirahat. Danau Laut Tawar tidak sebesar danau Toba, jika dikelilingi menggunakan sepeda motor hanya membutuhkan sekitar 4 jam perjalanan. Satu pemandangan yang sangat menarik adalah persawahan yang telah menguning di pinggiran danau.

IMG_3393
Sawah di Takengon

Kabut sering merayap turun hingga ke permukaan danau. Ketika musim hujan tiba, kita bisa melihat awan hujan yang merayap di atas permukaan danau. Di sekelilingnya perbukitan hijau menjadi punggung danau, juga persawahan yang menghampar menjadi daya tarik tersendiri dari Danau Laut Tawar.

IMG_3389
Tidur siang di pinggir danau

Tepat di siang bolong, kami menemukan sebuah lahan terbuka yang ditutupi pepohonan. Kami memarkirkan kendaraan disana dan bersiap melakukan tidur siang. Hmm, sungguh nikmat tak terkira. Suasana begitu damai hanya ditemani suara riak air dari danau dan hembusan angin. Mungkin inilah yang dinamakan sebagai firdaus.

IMG_3383
Danau Laut Tawar

Menjelang sore kami kembali ke tengah kota untuk melihat aktivitas warga mempersiapkan buka puasa. Kota yang tadinya sepi mendadak padat. Warga berjubel ke pasar untuk membeli berbagai penganan berbuka puasa. Berhubung ini di Aceh, syariat masih tetap terjaga jadi tidak diperbolehkan makan di tempat umum sebelum Maghrib tiba.

IMG_3385
Danau nan teduh
IMG_3415
Jalan Trans Aceh Tengah

Aroma kopi menghambur harum di penjuru pasar mengingat ada beberapa kios yang melakukan penggilingan biji kopi. Takengon, memang layak jika disebut Swissnya Sumatra. Walaupun tidak dengan pegunungan Alpen yang mengelilingnya, namun pegunungan Gayo juga tak kalah menarik dengan Alpen, bedanya ya tidak ada salju saja.

Ibu Manullang telah mempersiapkan penganan istimewa untuk kami. Ia begitu bersemangat memasak dan memperlakukan kami layak anaknya. Kopi panas asli gayo, sup dan juga ikan asli Danau Laut Tawar dimasak balado telah terhidang di depan kami. Ibu Manullang memanggil suami dan anak bungsunya untuk makan malam bersama.

“Tuhan, kami berterimakasih atas pimpinanMu dan juga kehadiran Ary dan Johannes disini, kami bisa saling mengenal dan mengasihi layaknya keluarga,” penggalan doa yang diucapkan oleh Ibu Manullang sebelum kami menyantap makan malam. Inilah hal yang paling berkesan selama di Takengon, bukan melulu soal tujuan yang kami capai, tapi orang-orang luar biasa yang kami temui selama perjalanan.

Keluarga Manullang adalah keluarga yang berpemikiran terbuka. Mereka mengatakan jika jiwa muda harus diisi dengan petualangan, karena kelak waktu yang akan merenggut pengalaman-pengalaman kita. “Besok saat kembali ke Berastagi, terserah kamu mau lewat jalan mana. Kalau lewat Kutacane jalannya menantang, jauh tapi pemandangannya bagus. Kalau mau cepat lewat jalan utama via Medan,” ucap Pak Manullang.

Tidak, mendengar kata “Medan” kami pun merinding. Ketimbang harus terdampar kembali di Medan dan ditipu di terminal lebih baik kami masuk ke hutan. Opsi pertama pun kami pilih, melanjutkan perjalanan ke Berastagi lewat Kutacane membelah lebatnya pegunungan Gayo Lues di Aceh Tenggara.

Dua malam kami habiskan di Takengon karena waktu yang terbatas. Dengan berat hati kami meninggalkan keluaga Pak Manullang, namun perbuatan baik mereka akan selalu jadi cerita manis tiap kali kami menceritakan perjalanan kami.

Satu pemikiran pada “Takengon, Swiss van Sumatra

  1. Aku baru balik dari Takengon 2 minggu lalu. Jalannya sekarang sudah beraspal walaupun di sebagian jalan udah rusak juga. Takengon emang indah. Aku suka 🙂

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s