Sebelas tahun setelah diterjang gelombang mahadahsyat Tsunami, Banda Aceh kini telah berbenah diri. Deretan bangunan berdiri kokoh di sepanjang jalanan utama seolah bencana itu tak pernah terjadi. Namun dari balik geliat kota yang telah bangkit menata diri ini masih tersimpan saksi bisu yang menjadi bukti dari sebuah bencana dahsyat di bulan Desember 2004.
Beberapa hari sebelumnya perjalanan kami telah singgah di Banda Aceh selama beberapa jam. Kini, selepas dari Pulau Weh kami pun kembali ke Banda Aceh untuk melakukan perjalanan napak tilas bencana Tsunami. Kami tiba di pelabuhan Ulee-Lheue pada Selasa, 6 Juli 2015 dan berencana hanya singgah selama satu malam saja di Banda Aceh. Mas Tri sudah menanti kami di depan gerbang pelabuhan dengan mobil Colt L-300nya.

Kala itu Banda Aceh cukup sejuk selepas diguyur hujan deras, namun dengan segera mendung pun sirna digantikan matahari yang menyengat. Masih dalam suasana Ramadhan, kami diajak singgah kembali di kediaman Mas Tri untuk menyantap sarapan sekaligus makan siang. Karena waktu sudah pukul 11:00 tidak memungkinkan bagi kami untuk pergi mencari makan di Pasar Peunayong.
Mas Tri bersama istrinya, Yuliana menyediakan penganan sederhana dan dilengkapi dengan kopi Aceh, nikmat sekali rasanya. Sambil menyantap makan siang, kami mendengarkan penuturan Mas Tri dan istrinya tentang apa yang menyebabkan mereka bisa memutuskan untuk tinggal di Aceh. Singkatnya, bagi mereka Aceh adalah suatu panggilan hidup, lebih dari sekedar mimpi.

Sebagai pendatang, awalnya mereka mendapati penolakan karena berbagai hal. Namun, warga lambat laun menerima bahkan menyambut baik kehadiran mereka karena Mas Tri dan keluarganya tidak pernah melakukan hal buruk di masyarakat. “Ya, awalnya ada penolakan, tapi lama-lama semua bisa menerima kami, bahkan sekarang ibu-ibu kalau mau minta air langsung masuk ke dalam rumah tanpa sungkan lagi,” jelas Yuliana.
Mas Tri mengelola sebuah koperasi simpan pinjam yang dinaungi oleh Yayasan Rebana. Koperasi ini memberikan kredit ringan kepada warga sekitar Ulee-Lheue untuk mengembangkan usaha mereka. Uniknya, kebanyakan anggota koperasi adalah perempuan. Mengapa perempuan? Karena jika uang diserahkan ke bapak-bapak biasanya akan habis untuk ngopi .
Dari koperasi inilah warga sekitar Ulee-Lheue yang merupakan wilayah terparah dampak tsunami ini mulai menata hidup. Warga belajar membiasakan diri untuk mengelola uang secara bijak, mengingat uang dari koperasi pada dasarnya adalah pinjaman, bukan hibah. Pasca tsunami memang banyak sekali bantuan berdatangan, dan hal itu membuat warga sulit membedakan mana hibah dengan pinjaman.
Beberapa tetangga Mas Tri ada yang mengembangkan usaha warung kopi, toko kelontong dan juga bengkel motor dari pinjaman koperasi. Atas dasar itulah warga menganggap kehadiran Mas Tri sebagai seorang yang memiliki niatan tulus untuk menolong.

Waktu telah menunjukkan pukul 12:00 dan kami pun bergegas pergi ke Museum Tsunami Banda Aceh. Mas Tri mengantarkan kami di pelataran Museum kemudian meninggalkan kami karena ada pekerjaan lain yang harus ia lakukan. Di Museum Tsunami ini tidak dikenakan tiket masuk, namun museum hanya buka hingga pukul 15:30.

Museum Tsunami dibangun dengan arsitektur yang luar biasa indah dan megah. Di dalamnya terdapat diorama mengenai perjuangan rakyat Aceh pra-kemerdekaan, GAM, juga detik-detik serta pasca tsunami. Pengelola museum juga menyediakan ruangan audio-visual untuk pengunjung dapat menonton video Tsunami Aceh. Di bagian bawah museum terdapat sebuah lobby yang di langit-langitnya tergantung banyak bendera negara-negara yang turut membantu proses revitalisasi Aceh dari bencana tsunami.

Selepas dari museum kami menyambangi monumen PLTD Apung. Monumen ini sejatinya adalah kapal pembangkit listrik asli yang pada Minggu, 26 Desember 2004 pagi bersandar di tepi pantai. Kala itu gelombang tsunami menerjang dengan dahsyatnya dan menghanyutkan kapal raksasa ini ke tengah kota. Seusai gelombang surut kapal itu pun terdampat dan tidak memungkinkan dikembalikan ke laut. Kini, kapal itu difungsikan sebagai monumen dari peristiwa tsunami.

Selain PLTD Apung yang terdampar, ada juga perahu nelayan yang tersangkut di atap perkampungan. Berdasarkan penuturan Mas Tri, perahu yang tersangkut itu telah menyelamatkna 36 warga perkampungan. Ketika gelombang tsunami datang dan mulai meninggi, ke-36 warga itu seolah dijemput oleh kapal nelayan yang hanyut. Mereka lalu naik ke atas kapal dan terselamatkan nyawanya. Kini kapal itu pun dijadikan monumen di tengah perkampungan warga.

Seusai berjalan kaki mengelilingi Banda Aceh, kami mencari penginapan di kawasan Pasar Peunayong. Kami tidak dapat bermalam di kediaman mas Tri karena tidak tersedia ruangan yang cukup dan itu tidak jadi masalah karena mas Tri sudah begitu baik membantu kami. Penginapan di Pasar Peunayong ini sangat strategis karena lokasinya dekat dengan Masjid Raya Baiturrahman, ikon legendaris dari Bumi Serambi Mekah.
Malam harinya aktivitas kami hanyalah wisata kuliner. Jika diperhatikan harga makanan di Banda Aceh ini lebih murah daripada di Medan berdasarkan pengalaman kami. Juga, soal rasa tidak kalah dengan kuliner lain terutama rasa dari Mie Aceh.
Kawasan Peunayong ketika malam berubah menjadi deretan kaki lima ping

giran jalan lengkap dengan lampu-lampu yang menghiasi gerobak mereka. Berbagai penganan tersedia, mulai dari Mie Aceh hingga sate padang dan chinese food semua ada juga dengan harga yang terjangkau. Karena persediaan uang yang seadanya kami pun hanya menyantap nasi goreng seharga Rp 10.000,- per porsi.
Aktivitas kami di Banda Aceh diakhiri sampai Pasar Peunayon saja. Keesokan harinya kami harus menempuh perjalanan panjang menuju Takengon, sebuah kota yang terletak di dataran tinggi Gayo yang terkenal dengan aroma kopinya yang khas.